“Hal itu ditandai ketika terjadi pelanggaran HAM serius terkait kematian 2 mahasiswa Indonesia pada protes-protes anti revisi UU KPK pada 2019,” samungnya.
Wijayanto mengatakan dari pelemahan KPK lewat revisi UU KPK padahal ratusan ribu mahasiswa, intelektutal dan akademisi telah menyuarakan protes terhadap rencana revisi UU KPK.
“Bahkan presiden Jokowi telah mengundang para intelektual dan akademisi yang menentang rencana revisi ke istana, dan diberikan janji untuk tidak memperlemah KPK namun pada kenyatannya revisi UU KPK tetap dilakukan. Dari hal tersebut bagaimana kita bisa mempercayai tidak adanya praktik-praktik pelanggaran HAM yang terjadi,” imbuhnya
Dari sisi kebebasan hak sipil dan kebebasan berpendapat yang dikatakan Jokowi akan terus dipelihara melalui penerapan UU ITE, pada kenyatannya terjadi kriminalisasi para pengkritik kebijakan sepeti terjadi pada banyak kasus.
“Hak-hak digital warga juga tercatat telah dilanggar, hal yang terkait ketika terjadi peretasan pada para akademisi, jurnalis dan aktivis yang menyuarakan sikap menolak terhadap rencana revisi UU KPK,” terang Wijayanto.
Problem pemberantasan korupsi
Sementara itu, Peneliti LP3ES Malik Ruslan memberikan 4 catatan besar dalam probelm pemberantasan korupsi selama setahun terahir. Catatan tersebut yakni:
Pertama, Pelemahan aspek legislasi dalam pemberantasan korupsi terutama dengan adanya pembatalan PP No 99 tahun 2012 tentang pembatalan pengetatan terhadap peberian remisi untuk para koruptor. Selama 8 bulan Januari-Agustus 2021 ada 121 koruptor yang mendapatkan hadiah remisi yang bertentangan dengan kualifikasi korupsi sebagai extra ordinary crime.
Kedua, sistem anti korupsi belum kokoh. Terbaca dari banyaknya pengajuan PK ke MA paska meninggalnya hakim agung Artidjo Alkostar, padahal sistem hukumnya tidak berubah. Jadi terkesan tergantung dari siapa figur hakim yang menangani perkrara dimaksud.
Ketiga, adanya problem kelembagaan terutama terkait lembaga KPK di mana sirkulasi elit di dalam KPK telah mengubah seluruh susunan yang ada. Tekesan adanya selera dari pimpinan KPK yang baru masuk yang merubah tatanan di dalam lembaga pemberantasn korupsi.
Keempat, Adanya problem ambiguitas terkait penyataan Jokowi pada hari anti korupsi untuk memberantas korupsi sebagai kejahatan extra ordinary. Pada tindakan yang dilakukan setahun terakhir tampak bukan klasifikasi extra ordinary yang diterapkan, tetapi hanya ordinary saja. Kontradiksi terjadi bahkan telah sampai pada level paling atas dari pimpinan negara.
“KPK saat ini sudah benar-benar terserap ke dalam rumpun eksekutif sehingga tidak lagi mempunyai kewibawaan sebagai lembaga adhoc yang dulu didirikan akibat adanya ketidakpercayaan publik yang kuat pada lembaga-lembaga kepolisian dan kejaksaan pada pemberantasan korupsi di tanah air,” ujar Malik. (Luk)