BARISAN.CO – Dalam konflik di Laut Cina Selatan (LCS) Indonesia harus konsisten menolak klaim sepihak China namun tetap dengan elegan dan mengutamakan pendekatan diplomasi.
Demikian dikatakan Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy, Dr. Phil. Shiskha Prabawaningtyas dalam diskusi Forum Ekonomi Politik Didik J. Rachbini bertajuk “Evaluasi Diplomasi RI: Geopolitik, Pertahanan dan Good Governance” melalui platform Twitter space (23/12/2021).
Shiskha mengungkapkan peta geopolitik baru dalam hubungannya dengan meningkatnya ketegangan Laut China Selatan, persepsi baru dari cara pandang territoriarity, yakni tidak lagi hanya berpedoman pada wilayah daratan suatu negara (Asia Pacific), tetapi sejak awal 2000-an dikenal perubahan istilah menjadi Indopacific yang lebih berorientasi pada teritorialisasi laut sebagai pusat perhatian.
“Dalam konteks teori geopolitik dan orientasi geografi yang telah mempengaruhi behaviour politik negara-negara, fokus kembali ke teritori laut tersebut diperkirakan telah meningkatkan dinamika eskalasi di LCS,” sambungnya
Persoalan di LCS lanjut Shiskha, tidak bisa dan tidak adil jika dilihat hanya pada masa kekinian semata dari faktor perilaku China yang semakin agresif, tetapi terdapat isu pertahanan, psikologi, emosi dan pride menyangkut survival of the state.
“Jika pada era sebelumnya LCS hanya berkutat pada konflik pulau dan daratan, maka sejak UNCLOS 82 China mulai berperilaku agresif dengan mengklaim sepihak wilayah pada 9 dashline atau 9 garis imajiner terjauh di LCS menurut versi China yang menolak batas wilayah internasional sesuai UNCLOS 82,” terangnya.
Terkait meningkatnya ketegangan di LCS, Anton Aliabbas, Ph.D., Dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy menyarankan Indonesia untuk tidak hanya bersikap menunggu sampai eskalasi meningkat lebih jauh.
“Yakni semakin mengintensifkan diplomasi luar negeri dan diplomasi pertahanan. Juga, mendorong kembali ASEAN untuk membuka komunikasi dengan China agar mau mematuhi code of conduct di LCS,” ucapnya.
Anton mengungkapkan bahwa pertemuan darurat tingkat Kementerian Pertahanan, Angkatan Bersenjata, Kementerian Luar Negeri dan lembaga terkait telah dilaksanakan dan membicarakan berbagai skenario dan analisa situasi di LCS, serta mitigasi-mitigasi yang perlu dilakukan.
Menyadari kekuatan angkatan bersenjata China yang lebih unggul lanjut Anton, Kementerian Pertahanan memilih untuk mencari perimbangan kekuatan dengan mencoba menjalin komunikasi intens dengan para pemilik hak veto di PBB, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Rusia dan China sendiri.
“Semuanya dicoba untuk digandeng dan dikuatkan kerjasamanya. Beberapa pembelian alusista telah disetujui dengan Perancis, Inggris dan Rusia serta Amerika Serikat,” katanya.
A. Khoirul Umam, Ph.D., dosen Paramadina Graduate School of Diplomacy menyatakan bahwa dari perspektif Ekonomi Politik dan Pertahanan Keamanan terkait isu LCS, pada 2022 mendatang, Indonesia memang harus lebih siaga.
“Tren yang berkembang dari berbagai analisa pakar internasional tentang China, melihat bahwa karakter politik luar negeri China memang cenderung berubah sejak 10 tahun terakhir. Yang semula charming offensive strategy, ketika telah berjalan baik kemudian bisa berubah menjadi alarming offensive strategy,” lanjutnya.
Menurut Umam ketika China menggunakan instrumen keunggulan ekonomi, tidak ada ancaman serius yang timbul.
“Kemudian situasi secara cepat berubah di mana China pada 13 September 2021 lalu ada 6 kapal perang China yang melintasi Laut Natuna Utara. Hal itu jelas adalah show of force dari China di wilayah perbatasan Indonesia,” katanya.