Scroll untuk baca artikel
Terkini

Evaluasi Kehidupan Beragama di Indonesia, 3 Kasus Penting Tahun 2022

Redaksi
×

Evaluasi Kehidupan Beragama di Indonesia, 3 Kasus Penting Tahun 2022

Sebarkan artikel ini

Menurut Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi kasus sektarianisme, seluruhnya adalah kasus baru pada 2022. Pada isu antar agama, lebih banyak kasus lama yang belum selesai daripada kasus baru 2022.

“Pada isu agama leluhur, kasus baru lebih banyak daripada kasus lama yang belum selesai. Kasus sektarianisme lama (pra 2022) tidak muncul di berita kembali dibanding isu antar agama dan agama leluhur,” imbuh Husni

Lebih lanjut Husni mengatakan terdapat 3 masalah yang masih harus diselesaikan, yaitu masalah Struktural, di mana sila pertama Pancasila dianggap tidak memberi ruang bagi warga yang tidak berketuhanan yang maha esa.

Munculnya hirarki dalam Agama dan keyanikan. Agama dianggap lebih tinggi levelnya dari keyakinan. Norma untuk membatasinya terletak pada siapa yang lebih dominan, dan agama pada akhirnya dominan dalam menentukan boleh atau tidak.

Masalah Kultural. Kerukunan sebagai filosofi bernegara dirasa masih belum memadai. Toleransi masih pada level tak acuh terhadap orang atau kelompok yang berbeda, dan kuran perduli terhadap kepentingan orang lain. Padahal toleransi tidak cukup karena masalah yang kita butuhkan adalah sesuatu yang lebih dalam.

“Masalah Implikasi. Implikasi Struktural, harus jadi penekanan bahwa dibutuhkan satu kontrak kebangsaan baru tentang kehidupan beragama yang inklusif dan setara. Pada Implikasi Kultural: Diperlukan perubahan paradigma: Terpenuhinya Hakku, adalah juga kepentinganmu,” jelas Husni.

Aktivis Paritas Institute, Trisno Sutanto menyampaikan dalam sejarah perjalanan agama-agama, sudah cukup lama diwanti-wanti, bahwa akan terjadi pergeseran dari dimensi eksternal antar agama kepada dimensi internal, intra agama.

“Relasi atau hubungan antar agama seringkali tegang. Kira-kira dimulai sejak adanya transisi orde lama ke orde baru. Kerap terjadi kasus sektarianisme kelompok yang dianggap sesat. Jika itu benar masih terjadi, maka kita menghadapi persoalan yang tidak ada ujung pangkal. Bagaimana menafsirkan tafsir teologis yang begitu luas. Dan biasanya pihak dominan akan menarik tangan negara untuk menyelesaikannya,” jelasnya.

Kalau urusan antar agama agaknya merupakan dari persoalan eksternal, namun Trisno mencontohkan misalnya sesama Kristen, bagaimana menyelesaikannya. Semua tafsir pasti berbeda. Begitu pula di Islam antara Sunni dan Syiah. Ditarik ke belakang, itu terjadi pada 2004-2006 ketika ada serangan terhadap Ahmadiyah.

Menurut Trisno, dalam amandemen kontitusi terdapat semangat pembaharuan yang begitu besar. Seluruh perangkat aturan tentang HAM masuk di dalamnya, yang didasarkan pada kebebasan, tetapi diujung semua itu lalu dibatasi oleh nilai-nilai agama. Dan itulah yang menghatui kita dalam sila pertama Pancasila.