Dalam pengantar tulisan di The New Yorker, disebutkan penyelidikan kasus ini merupakan salah satu investigasi pembunuhan besar pertama FBI. Setelah J. Edgar Hoover diangkat sebagai direktur biro, pada tahun 1924, dia mengirim tim operasi yang menyamar, termasuk agen penduduk asli Amerika, ke wilayah Osage. David Grann, menghabiskan hampir setengah dekade untuk meneliti sejarah yang tenggelam dan menyeramkan ini.
Dalam biodata resminya di sejumlah buku dan di majalah New Yorker, David Grann dikenal juga sebagai penulis “The Lost City of Z” dan finalis Penghargaan Buku Nasional untuk “Killers of the Flower Moon”.
Kedu karya itu dipilih sebagai salah satu buku terbaik pada tahun masing-masing oleh The New York Times, The Washington Post dan publikasi lainnya.
Dia juga penulis “The Devil and Sherlock Holmes: Tales of Murder, Madness, and Obsession” dan “Old Man and the Gun: And Other Tales of True Crime.”
Selain dua karya yang dibuat film oleh Martin Scorsese, “The Lost City of Z” dan “Old Man and the Gun,” telah diadaptasi paling duluan ke dalam layar lebar.
Tradisi jurnalistik di Indonesia seperti yang dilakukan The New Yorker nyaris tidak ada di Indonesia. Sekelas Tempo pun yang selama ini menjadi rujukan beberapa media lainnya jauh dari jurnalisme sastrawi. Tulisan yang berpuluh-puluh halaman masih tetap renyah dan enak dibaca.
Tulisan yang memaksa jurnalisnya untuk banyak membaca, menulis kreatif, ulet, memiliki endurens yang tinggi, redaksi yang ramah pada tenggat serta cukup memiliki dana. Tulisan berupa proposal saja sudah dihitung harganya apalagi bila tulisan sudah jadi dan dimuat.
Artinya, untuk membuat tulisan sekelas prosa di The New Yorker masih dalam impian kendati sebelumnya di Indonesia sempat ada majalah Pantau yang digagas jurnalis Andreas Harsono namun tak bertahan lama karena terbunuh urusan dana.
Atau kita pernah memiliki seorang jurnalis senior almarhum Bondan Winarno yang melakukan peliputan investigasi secara independen. Tulisannya tentang skandal tambang Emas Busang yang berjudul “Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi”, sangat renyah dan seperti membaca novel.
Setelah itu nyaris tak ada lagi karya hebat di negeri ini karena mungkin soal keterbatasan dana, sumber saya manusiadan juga sibuk menjadi kreator click bait dan pemulung pageviews. [rif]