Scroll untuk baca artikel
Terkini

Fitri Khoerunnisa Berbagi Pengalaman Soal Memilah Sampah di Jepang

Redaksi
×

Fitri Khoerunnisa Berbagi Pengalaman Soal Memilah Sampah di Jepang

Sebarkan artikel ini

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Jepang, Fitri Khoerunnisamendapatkan edukasi dan wawasan agar bisa berkontribusi sekecil mungkin mulai dari rumah, minimal memilah sampah.

BARISAN.CO – Sekitar tahun 1960, Jepang mulai membuang sampah perkotaan dengan sistem pembakaran. Hari ini, negeri Sakura itu memiliki fasilitas pembakaran sampah terkemuka di dunia.

Pada tahun anggaran 2009, terdapat 1.243 fasilitas insinerasi di sana. Kini, Jepang pun berada di urutan ke-19 sebagai negara paling berkelanjutan berdasarkan Suistanable Development Report.

Sampah dalam bahasa Jepang disebut gomi. Fitri Khoerunnisa, dosen Universitas Pendidikan Indonesia mengatakan, kali pertama dia menginjakkan kakinya di sana, dia diminta ke kantor Kecamatan.

Selain diberikan resident card, Fitri juga mendapatkan kalender pembuangan sampah (waste disposal calender) serta guidance of waste sorting/ collection. Hal itu dia ungkapkan dalam acara Mimbar Virtual, “Bahaya Limbah dari Rumah Tangga”.

“Di buku itu ada empat kategori. Ada kategori sampah yang bisa terbakar (moeru gomi), tidak bisa terbakar (moenai gomi), ukurannya besar kayak TV yang sudah rusak, meja, kasur, itu namanya sodai gomi nanti, dan ada juga yang berpotensi recycle,” kata Fitri pada Kamis (28/7/2022).

Perempuan asal Garut ini melanjutkan, ketika baru datang di Jepang, dia juga mendapatkan edukasi dan wawasan agar bisa berkontribusi sekecil mungkin mulai dari rumah, minimal memilah sampah.

“Uniknya lagi, keempat kategori itu disediakan pembuangan bisa sampai puluhan. Membuang botol, kaleng, dan kertas itu dipilah. Sedetil ini mereka diajarkan,” tambahnya.

Fitri menambahkan, setiap jenis sampah dimasukkan ke dalam kantong yang berbeda dan harganya 10 yen atau sekitar Rp1.000.

“Tiap orang di rumah punya 4 jenis kresek. Warna kuning untuk recycle untuk plastik, hijau untuk sampah dari dapur dan sebagainya, merah untuk pecah belah, serta kaleng masuk ke plastik warna biru. Sedangkan warnaputih, untuk pakaian,” ujarnya.

Agar sampah rumah tangga itu dapat disalurkan dengan baik ke TPS hingga TPA, Fitri mengungkapkan truk yang tersedia bisa mencacah serta bentuknya tertutup. Itu bertujuan agar sampah tidak berceceran kemana-mana.

Menurutnya, pembagian jenis kresek itu juga lebih efektif. Ketimbang semuanya disatukan di dalam satu wadah plastik, lalu dibuang.

Fitri menyampaikan, sejak TK, anak-anak di Jepang mulai diajarkan cara mengenali dan memilah sampah.

“Tim pembuangan sampahnya turun ke sekolah. Anak diberikan melalui pendidikan IPA bagaimana memilah sampah, selain melalui edukasi dan komunikasi, ada lagi kalender pembuangan sampah setiap daerah berbeda sehingga sistem ini bisa efisien dan disiplin,” tuturnya.

Fitri menyampaikan, khusus sampah besar seperti meja, masyarakat Jepang harus membeli stiker yang diregulasi di kota setempat.

“Sama halnya dengan mesin cuci yang masih berfungsi bisa telepon recycle centre. Stiker itu ada harganya, ditarik dari masyarakat dan digunakan untuk membuat sistem manajemen yang bagus,” jelasnya.

Mengutip Japan Guide, pembuangan sampah yang tidak tepat dapat menyebabkan gesekan antar tetangga. Ini karena lingkungan setempat umumnya memikul tanggung jawab pemisahan dan pengumpulan sampah yang benar. Ditambahkan, aturan pemisahan sampah tiap kota bisa berbeda-beda dan sangat rumit.

Bukan hanya pemisahan yang tidak tepat, penyebab umum keluhan di sana termasuk penggunaan kantong sampah yang salah atau membuang sampah di luar jam yang ditentukan atau di tempat pengumpulan di luar lingkungannya.

Hari dan jam pengumpulan sampah juga bergantung pada wilayah tempat tinggal.

Seperti yang dipaparkan oleh Fitri di atas, maka bagi orang asing yang menginjakkan kakinya di Jepang, langsung diminta datang ke Kecamatan untuk mendapatkan kalender serta guidance. Rupanya, untuk menghindari gesekan seperti ini.