Ngaji rasa
Malam kian larut dan berkabut. Udara dingin yang semakin menusuk tulang dan awan mendung yang menyelimuti langit merbabu malam itu tak membuat surut semangat para peserta Kemah Owah #1.
Acara masih berlanjut. Sesi ngaji rasa dimulai. Eric Darmawan menyampaikan bahwa kegiatan Kemah Owah #1 yang terlaksana secara organik ini merupakan gelombang positif yang mampu menarik banyak kelompok dengan gelombang yang serupa, sehingga diharapkan mampu bersinergi untuk mendongkrak produktifitas dan membangun ekosistem yang mandiri tak bergantung pada arus globalisasi.
Titi Permata lebih banyak bercerita tentang ‘kesaktian’ pohon, tentang seberapa penting menanam pohon.
“Langkah kecil yang bisa diakukan untuk merawat bumi adalah dengan menanam pohon,” ujar Titi Permana.
Ibob Susu merespon dengan bercerita pengalamanya dalam mengorganisir para pengamen jalanan yang kemudian tergabung dalam sebuah organisasi bernama Serikat Pengamen Indonesia (SPI).
Tak sampai disitu, dia menceritakan aksi-aksi yang dia inisiasi bersama SeBUMI, seperti turun kejalan menemani para buruh, tani dan orang-orang yang tertindas untuk menyuarakan keresahannya lewat karya musik, puisi dan teater.
Sofyan Muhammad berpendapat bahwa Kemah Owah selain menjadi media untuk menumpahkan kegelisahan, merupakan ritualitas konfirmasi diri. Sebuah ritual “back to nature” sebagai jalan untuk mengenal diri.
“Indonesia sedang tidak baik-baik saja, maka kegiatan-kegiatan semacam ini menjadi penting untuk terus ada,” kata ketua Peradi Ungaran itu.
Nicotiano Omerta mencoba memberi tafsir pada tema kegiatan malam itu. Bagi dia, eling adalah mengingat bahwa kita adalah bangsa yang kaya, maka dari itu kita harus waspada terhadap upayaupaya memecah belah dan adu domba yang dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin mengeksploitasi kekayaan Indonesia.
Sigit Riwiyanto mempertanyakan soal pemakaian kata Healing yang mana istilah tersebut terkait erat dengan orang yang sedang sakit. “kok healing? Memangnya kita sedang sakit? Kan tidak. Yang sakit itu Jakarta,” ucapnya, disambut tawa peserta.
Sesi Ngaji Rasa diakhiri dengan penampilan Muselycan, pegiat Maiyah Kendal yang membawakan dua nomor lawas Kurt Cobain dan Ibob Susu yang membawakan dua single dari Pandai Api SeBUMI pada sesi jamming.
Pada pukul 00:00 seluruh rangkaian acara pada malam itu berakhir. Acara ditutup dengan sesi meditasi interpolasi.
Peserta diberi instruksi untuk menghadirkan dirinya secara utuh, menyadari diri bahwa dirinya sadar, memberi program baru kepada alam bawah sadar sebelum beranjak ketenda masing-masing.
Matahari mulai menyembul dari timur. Kilau cahayanya menyiratkan harapan baru. Seperti tak mau melewatkan momentum itu, satu persatu peserta beranjak dari tenda menuju punggung bukit, menangkap kehangatan energi baik sang surya.
Setelah seluruh peserta berkumpul sesi meditasi manifestasi dimulai, pada sesi ini, Febri menekankan bahwa: ” Gagasan itu harus dimaterialkan. Apa yang kita pikirkan, harus selaras dengan gerak.”
“Apa yang bisa kita lakukan untuk mencapai tujuan? Pertanyaan itu harus kita tanam dalam benak, kita pupuk sehingga berbuah tindakan yang akan mengantarkanmu pada tujuanmu,” Imbuhnya.
Setelah sesi meditasi ketiga itu usai, acara dilanjutkan dengan memunguti sampah-sampah plastic sisa kegembiraan semalam dan ditutup dengan menanam 500 bibit pohon puspa disekitar lokasi acara, sebagai upaya kecil agar Hutan Pinus Tiamo tetap lestari dan mampu terus menyebarkan virus positivisme ke seluruh nusantara bahkan dunia. [Luk]