“Jika saya tahu bahwa bekerja di TikTok akan menghabiskan biaya sebesar ini, saya tidak akan pernah mengambil pekerjaan ini. Saya belajar gengsi dalam karier tidak sepadan dengan kesehatan mental dan fisik saya,” Melody Chu (Karyawan TikTok di AS)
BARISAN.CO – Sebuah artikel di WSJ tentang tekanan karyawan yang bekerja di industri teknologi berjudul “TikTok’s Work Culture: Anxiety, Secrecy and Relentless Pressure“. Dalam artikel itu disebutkan, kelelahan dan kurang tidur adalah hal biasa, beberapa karyawan bahkan mengatakan, rata-rata melakukan pertemuan 85 jam per minggu. Bukan itu saja, mereka juga diwajibkan kerja di akhir pekan dan menghadiri rapat virtual dengan rekan kerja di China.
Melody Chu, karyawan TikTok berbasis di Los Angeles menyebut, waktunya di sana menjadi mimpi buruk.
“Saya terlalu malu mengakui tekanan dan jam kerja menyebabkan saya mencari terapi. Kemudian terapi pernikahan. Berat badan saya turun drastis dan sulit tidur,” katanya.
Dia bahkan menyampaikan, hampir tidak pernah menemui orangtuanya yang sudah lanjut usia, meski tinggal berdekatan.
“Jika saya tahu bahwa bekerja di TikTok akan menghabiskan biaya sebesar ini, saya tidak akan pernah mengambil pekerjaan ini. Saya belajar, gengsi dalam karier tidak sepadan dengan kesehatan mental dan fisik saya,” ujar Melody.
Fakta itu tidak begitu mengejutkan. Sebab, pada tahun 2018, Team Blind mensurvei lebih dari 9.000 pekerja teknologi. Survei itu menemukan, 52 persen pekerja menyebut lingkungan kerja mereka tidak sehat. Yang itu menyebabkan mereka kelelahan karena budaya beracun, manajemen yang buruk, serta beban kerja berlebihan.
Dari 3 perusahaan teknologi raksasa, Intel memimpin sebagai lingkungan kerja paling beracun (48,5%), diikuti oleh Amazon (46,5%), dan eBay (44,5%). Team Blind mengungkapkan, kebanyakan orang dewasa menghabiskan sebagian besa waktunya di tempat kerja, lingkungan kerja yang tidak sehat membuat kesehatan mereka menjadi buruk serta merusak hubungan pribadi di luar kantor.
Pada akhirnya, lingkungan pekerjaan berpengaruh pada keinginan karyawan untuk meninggalkan pekerjaannya. MIT Sloan Management Review menemukan, lebih dari 40 persen karyawan berpikir meninggalkan pekerjaannya di awal tahun lalu. Antara April hingga September 2021, lebih dari 24 juta karyawan Amerika resign dan menjadi rekor sepanjang masa yang dikenal sebagai Great Resignation. Penyebab terbesarnya ialah budaya beracun di lingkungan pekerjaan.
Elemen utamanya dari temuan itu termasuk kegagalan mempromosikan keragaman, kesetaraan, dan inklusi; pekerja merasa tidak dihargai; dan perilaku tidak etis.
Melody Chu sebenarnya bukan satu-satunya orang yang mendambakan bekerja di perusahaan bergengsi, seperti TikTok. Tentu, ada kepuasaan tersendiri bagi mereka, termasuk pujian dari orang terdekat, “Wah, beruntungnya kamu bisa diterima di sana”. Khususnya, di tanah air, lulusan kampus terbaik cenderung lebih memilih bekerja di perusahaan besar dengan gaji besar.
Namun apakah itu sepadan? Hasrat untuk prestise dan uang terkadang justru merusak kehidupan masyarakat. Hasrat itu menjadi alasan mengapa kita menghabiskan sejumlah uang gila-gilaan untuk pendidikan, membunuh diri sendiri di pekerjaan yang sebenarnya tidak kita sukai, bertahan dengan kolega dan bos yang tidak disukai, berhenti mengejar impian, dan akhirnya penyesalan memenuhi ruang kosong hari kita.
Memang, perusahaan besar bergaji besar itu tidak selalu beracun. Namun, jika kita menyadari berada di lingkungan kerja yang beracun dan bertahan itu sama saja kita tidak menyakiti mental serta fisik sendiri. [rif]