Dalam RPJMN 2025–2029, target pertumbuhan tambang yang tinggi justru menandai mundurnya strategi ekonomi nasional ke era galian dan gali lobang tutup lubang.
SAMBIL menyeruput kopi proletar made in mbah Any Faiqoh, aku membuka Facebook. Di beranda, muncul status lama facebook: Ulil Abshar Abdalla, tertanggal 18 juli 2018, tulisnya:
“Jarang ada negeri yg maju karena kekayaan tambang alam. Negeri2 yg maju biasanya maju karena tambang yang lain. Yaitu kreativitas manusia.”
Jleb. Rasanya seperti ditegur secara halus tapi menyakitkan. Sama seperti ketika dulu masih jomblo ditanya, “Kapan nikah?” padahal yang ditambang baru niat, belum restu.
Tapi aku tak sedang membahas restu atau resepsi, melainkan tambang dan nasib negeri ini yang masih keukeuh hahhihi menggali-gali perut bumi sembari berharap bisa menyentuh langit pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Target ambisius itu tertulis dalam dokumen sakti bernama Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Pemerintahan Prabowo mencanangkan skenario pertumbuhan ekonomi yang bombastis, namun sayangnya tanpa strategi yang jelas. Seperti orang niat diet tanpa tahu beda antara nasi merah dan rendang.
Dalam RPJMN tersebut, sektor pertanian ditargetkan naik dari 2,20% ke 3,46%, sedangkan sektor tambang jagoanya bangsa Indonesia karena kaya Sumber Daya Alam, dipatok tumbuh dari 5,52% ke 7,51%.
Ya, kita memang suka balik ke cinta lama. Meski sudah tahu hubungan ini toksik, tetap saja kita datang lagi. Tambang memang menggoda: hasilnya cepat, kas negara langsung gemuk. Tapi seperti kebanyakan makanan cepat saji, efek jangka panjangnya bisa bikin kolesterol tinggi dan ketergantungan akut.
Sebenarnya, sektor pertambangan Indonesia sudah menua. Puncaknya di tahun 1980-an, lalu pelan-pelan menurun, sebelum tiba-tiba kembali “glowing” di 2021–2022. Padahal secara struktural, kita masih gagal memindahkan pondasi ekonomi dari gali-menggali ke industri pengolahan. Ibarat punya rumah mewah, tapi tetap pakai kamar mandi luar.
Adam Smith sejak ratusan tahun lalu sudah wanti-wanti: negara dengan Sumber Daya Alam melimpah biasanya kinerjanya malah buruk. Karena terlalu nyaman, tak mau susah payah mikir.
Tambang menjadi candu yang bikin malas. Bukan cuma Adam, para ekonom modern seperti Jeffrey Sachs dan Andrew Werner juga mencatat bahwa pengekspor SDA tumbuh lebih lambat dibanding negara yang ‘modal dengkul’ tapi kreatif.
Contoh nyatanya? Republik Demokratik Kongo. Lebih dari 20% PDB-nya dari tambang. Tapi coba cek, apakah rakyatnya hidup nyaman dan sejahtera? Jawabannya, tidak. Pendapatan naik, kemiskinan tetap nyangkut. Seperti gajian yang langsung hilang karena cicilan dan tagihan listrik.