Scroll untuk baca artikel
Kolom

Goyang Tambang

×

Goyang Tambang

Sebarkan artikel ini
goyang tambang gus ulil
Ilustrasi

Sebaliknya, Korea Selatan adalah anak poster dari negara yang ‘tidak punya apa-apa’, tapi jadi segalanya. Mereka tak punya tambang emas atau minyak, tapi punya tambang ide.

Dari K-pop, drakor, hingga sempak berteknologi tinggi, semua diekspor. Ketika dunia krisis akibat pandemi, Korea justru panen lewat budaya dan inovasi. Di sana, kreativitas adalah mata uang utama. Sementara di sini, ide cemerlang kadang malah dikira makar.

Manufaktur menjadi andalan Korea karena alasan sederhana: bisa menyerap banyak tenaga kerja, tidak butuh skill tinggi (petani pun bisa diajar), dan produk bisa diekspor ke seluruh dunia.

Sementara tambang? Penuh alat berat, sedikit tenaga kerja, dan dampaknya ke lingkungan bisa setara bencana cinta segitiga.

Green Economy dan Green Mining

Sekarang, kita mendengar jargon: green economy, green mining, low carbon development, dan semacamnya. Keren, terdengar sangat global dan ramah lingkungan. Tapi di lapangan, petani sayur dan pedagang keliling masih bingung: itu bisa ditumis atau tidak?

Kenyataannya, konsep ekonomi hijau belum menyentuh pelaku mikro, kecil, dan menengah, terlebih kelas atas. Banyak kebijakan lingkungan hidup hanya hidup di atas kertas, sementara tambang terus menggali, membelah, dan meninggalkan luka di tubuh alam.

Bahkan jurnal dari Cambridge University menyimpulkan: janji tambang untuk memberantas kemiskinan adalah mitos. Seperti iklan pemutih wajah yang menjanjikan kinclong dalam 7 hari, tapi bikin wajah breakout sebulan.

Perusahaan tambang datang dengan iming-iming lapangan kerja dan pembangunan, lalu pergi meninggalkan lubang yang lebih dalam dari utang KPR.

Pertanian organik mulai berkembang sebagai harapan baru. Tapi kalau arah pembangunan nasional tetap berpijak pada eksploitasi sumber daya alam, maka pertanian ini hanya akan jadi dekorasi hijau di panggung yang penuh debu batu bara.

Negara Indonesia dikaruniai tambang. Bukan cuma tambang emas, nikel, atau batu bara. Kita butuh tambang ide, tambang inovasi, tambang keberanian untuk keluar dari model ekonomi abad 18. Karena kalau masih terus mengandalkan pertambangan, kita hanya akan jadi “negara yang kaya sumber daya, miskin daya cipta.”

Dan ingat, yang bisa membuat naik kelas bukan alat berat, tapi kepala yang penuh ide, bukan batu.

Maka berhentilah menambang tanpa strategi. Mari mulai menambang pikiran. Karena masa depan tak digali, tapi diciptakan. []

Lukni Maulana
(Ketua Harian Serikat Pekerja Tanpa Pekerjaan)