Lalu bagaimanakah cara menemukan si miskin? Analisis Kemiskinan Partisipatif (AKP) adalah sebuah metode sederhana untuk menemukan si miskin sekaligus menjadikannya sebagai subjek perubahan.
Pada galibnya memanglah sangat sulit untuk menemukan dan mendengarkan suara si miskin. Selain karena terhalang oleh sekat psikologis juga menyangkut kehormatan (martabat) seseorang atau keluarga juga menyangkut permasalahan-permasalahan preferensi yang kompleks. Padahal kita semua tahu bahwa sangat penting untuk menemukan dan mendengar suaranya, baik karena alasan etis-normative ataupun alasan demi terwujudnya tatanan perikehidupan yang lebih bekeadilan.
Kita semua mafhum bahwa kemiskinan adalah situasi jerit-derita, sedih, pedih dan menjadikannya putus asa. Rasa putus asa itu mengikuti hari demi hari kehidupan si miskin, melewati mingu-minggu, dan mungkin berbulan-bulan.
Menghadapi situasi ini, yang diperlukan haruslah lebih dari sekedar pemahaman atas si miskin atau peristiwa kemiskinan, tetapi harus ada penyingkapan realitas. Ketika si miskin menemukan teman bicara, kemudian mengembangkan kemauan dan kemampuannya untuk menyingkap realitas kemiskinan yang sesungguhnya dialami, maka disanalah ada harapan untuk melawan banyak masalah yang menjadikan berasa putus asa tersebut.
Memahami situasi kemiskinan yang demikian, jelas dibutuhkan kemampuan dan metode yang menghendaki peristiwa kemiskinan itu dipersepsi dan kemudian dimaknakan sebagai realitas-realitas sebagaimana dipahami dan diyakini oleh si miskin itu sendiri (sebagai aktor-aktor sosial sesungguhnya). Karena kemiskinan itu sendiri tidak saja termanifestasi sebagai gejala yang kasat mata saja tetapi juga yang tidak kasat mata (alam simbolis).
Di sinilah muncul beban, bahwa praktek analisis kemiskinan partisipatif bukanlah memfasilitasi proses “belajar tentang orang miskin”, tetapi “belajar dari si miskin” untuk menemukan dan memperoleh gambaran-gambaran yang lebih utuh tentang kemiskinan yang sesungguhnya. Dengan begitu, analisis kemiskinan partisipatif mengharuskan adanya moral, prinsip, dan metode yang bersandar pada penghormatan hak dan pelibatan secara sungguh-sungguh dari para subyek kaum miskin.
Berdasar pertimbangan di atas, kerja analisis kemiskinan hendaklan bersikap dan bekerja untuk “belajar dari si miskin” dan oleh karenanya pantaslah disebut fasilitator. Sementara itu, individu, keluarga, dan kelompok miskin tidaklah lagi dipandang sebagai obyek kajian karena kini secara metodologis mereka dikuatkan haknya untuk mengkontrol seluruh proses kajian (merumuskan masalah kajian, koleksi data, analisis data, menyimpulkan hasil kajian, dan merumuskan rekomendasi kajian berdasar prioritas mereka) maupun untuk ikut ambil bagian dalam aksi yang direkomendasikan, dan oleh karenanya diyakini juga sebagai subyek.