Bergulirnya wacana penundaan pemilu yang sempat membuat kisruh di tengah masyarakat turut dikomentari oleh Ketua Dewan Penasihat Forum Diskusi Nusantara, Ilham Habibie. Dia menyebut, ada lima potensi risiko dari wacana itu.
BARISAN.CO – Sesuai amanat Undang-Undang, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali. Artinya, seorang presiden sekali pun terpilih kembali pada periode kedua, tidak bisa memperpanjang jabatannya dengan alasan apa pun.
Maret lalu, melalui channel Youtube Deddy Corbuzier, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan, adanya big data dari sekitar 110 juta orang yang menginginkan pemilu ditunda.
Saat diminta membuka data tersebut, Luhut menolaknya. Dia bahkan berdalih tidak mungkin berbohong.
Namun demikian, tak lama berselang, pegiat media sosial, Ismail Fahmi mempertanyakan klaim Luhut tersebut. Sebab, pendiri Drone Emprit itu menemukan, hanya 10.852 akun Twitter yang terlibat pembicaraan presiden 3 periode dan mayoritas masyarakat justru menolak wacana tersebut.
Temuannya itu dibagikan melalui utas Twitter-nya.
Bahkan, belum lama ini, saat mengunjungi Universitas Indonesia, Luhut dihadang oleh massa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM UI) yang mempertanyakan data 110 juta pendukung penundaan pemilu. Tetap, Luhut menolak. Kali ini, dia menilai, tak memiliki hak untuk membuka data itu.
Dalam Seri Dialog Forum Diskusi Nusantara (FDN): Membongkar Polemik Penundaan Pemilu, Ketua Dewan Penasihat FDN, Ilham Habibie justru mengindentifikasi lima masalah besar dari wacana yang terus-menerus digulirkan.
Poin pertama yang disampaikan oleh Ilham ialah akan menimbulkan ketidakpastian politik dan ekonomi karena tidak adanya jaminan bila ketika jabatan diperpanjang, kondisinya akan membaik atau bahkan justru memburuk.
“Kedua, penundaan pemilu dapat menimbulkan tantangan bagi demokrasi. Penyelenggaraan pemilu bisa mengalami demotivasi karena tidak fokus dalam mempersiapkan jadwal dan tahapan Pemilu 2024 karena ketidakpastian,” kata Ilham pada Rabu (13/4/2022)
Selanjutnya, dia menyebut, penundaan pemilu menjadi ancaman bagi sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Penundaan Pemilu yang berdampak pada perpanjangan masa jabatan presiden membuat bangsa Indonesia kembali, kurang lebih seperti periode tahun 1945 hingga tahun 60-an di mana eksekutif menjadi pusat kekuasaan. Dominasi eksekutif akan mengakibatkan legislatif dan yudikatif disfungsi dan ketergantungan pada eksekutif yang disebut dengan tirani mayoritas di mana pemegang kekuasaan mengabaikan kelompok minoritas yang ditandai oleh adanya sentralisasi kekuasaan dan pengabaian rasionalitas,” tambah pria kelahiran Jerman ini.
Poin keempat, Ilham mengungkapkan, itu akan memunculkan dilema lembaga yang berwenang menetapkan dan mengesahkan perpanjangan masa jabatan presiden.
“Hal ini karena semua lembaga yang dipilih oleh pemilu sudah berakhir masa jabatannya pada tahun 2024 sehingga terjadi kekosongan pemerintahan,” tegasnya.
Dan, yang terakhir, Ilham menyampaikan, dapat menimbulkan deligitimasi pemerintah.
“Tanpa adanya amandemen UU 45 terkait pemilu dan juga instabilitas hingga potensi konflik di masyarakat,” lanjut Ilham.
Sedemikian besarnya risiko yang bisa terjadi ini membuat Ilham khawatir. Terlebih, para pejabat tertentu turut menggulirkan wacana tersebut.
“Meski pun, sejak wacana penundaan pemilu digulirkan, reaksi publik cukup keras dan beberapa parpol seperti Muhammaditah menolaknya,” tutur Ilham.
Ilham melanjutkan, aktivis buruh, aktivis demokrasi, bahkan ahli tata negara pun turut menyampaikan pandangannya bahwa penundaan itu berpotensi melanggar konstitusi.