Masyarakat sebaiknya jangan percaya lagi bila ada elite politik mengamplifikasi narasi adanya polarisasi politik dengan dalih apapun
Oleh: Imam Trikarsohadi
(Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik)
KATA “random” adalah kata bahasa Inggris yang dalam bahasa gaul sering digunakan untuk menyatakan sesuatu yang tidak terduga, tidak terencana, aneh, atau tidak pada tempatnya. Kata “random” juga dapat diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan secara acak, ngawur dan semprul.
Julukan random, agaknya tepat pula bila ditujukan atas kelakukan para elit politik di negeri ini. Sekali waktu berteriak: ini kita, selang beberapa saat kemudian: itu mereka. Kita versus mereka tak berlaku ajeg, saling silang silih berganti sesuai kepentingan perburuan kekuasaan.
Sebab itu pula, polarisasi politik cenderung sebagai sebuah ilusi daripada sebagai suatu realitas yang eksis. Karena itu pula, masyarakat sebaiknya jangan percaya lagi bila ada elite politik mengamplifikasi narasi adanya polarisasi politik dengan dalih apapun.
Narasi-narasi semacam itu tiada guna bagi kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan hanya akan membentuk persepsi permusuhan antar masyarakat yang ujungnya menjadi ancaman stabilitas sosial politik secara lebih luas.
Jadi, polarisasi politik yang terjadi pada pilpres, pileg dan kini pilkada, hanya merupakan ilusi yang berpotensi membawa diskursus demokrasi kita mengarah kepada proses pendangkalan.
Faktanya, elit politik, apapun promo dan merek dagangannya, dengan enteng bergonta-ganti baju sepanjang hal itu dianggap menguntungkannya dalam berburu kekuasaan dan/atau jabatan publik.
Jadi, jika masih ada tokoh tertentu dan/ atau elit politik yang karena berburu jabatan tertentu, kemudian mengumandangkan polarisasi ideologi, apalagi agama, maka abaikan saja.
Karena sejatinya lanskap politik Indonesia telah sejak lama mengalami deideologisasi baik secara kelembagaan partai politik hingga proses pemilihannya.
Apa boleh buat, realitas politik yang sungsang ini, salah satu akar masalahnya disebabkan tidak adanya standar etika partai politik.
Parpol seharusnya mendorong lahirnya politisi berintegritas, memperjuangkan aspirasi publik, mewujudkan tata kelola pemerintahan, membantu agregasi politik warga, dan melayani warga.
Di lingkup internal selain mencetak kader berintegritas, juga memandu bagaimana perilaku politisi dan kader melakukan fungsi-fungsi politiknya, selanjutnya memiliki standat etik internal guna mengurangi risiko korupsi politik.
Realitasnya, parpol tak lagi menjadi jembatan penghubung bagi masyarakat yang ingin menyalurkan aspirasinya kepada para pemimpin. Masyarakat hanya diperhatikan setiap lima tahun sekali, hanya dicari suara-suaranya saja untuk pencoblosan di kotak suara.
Di sisi lain, para politisi justru menjadikan partai sebagai kendaraan politik untuk memperoleh jabatan atau pekerjaan dan menghimpun kekayaan. Itulah realitas perilaku mayoritas politisi dan kader partai saat ini.
Pahit, tapi harus diakui bahwa parpol sebagai agen sekaligus aktor utama dalam tata kelola politik dan demokrasi hingga kini tidak tersentuh reformasi internal.
Ini pulalah yang memicu mengapa penyelenggara negara yang dicetak setiap pemilu banyak terjerambab di lubang korupsi.
Sebagian partai politik lebih mirip “perusahaan” keluarga daripada entitas yang dimiliki oleh para anggota sesuai hukum formal yang diatur dalam UU No 2/2011 tentang Parpol.
Keputusan subjektif dari ketua umum atau tokoh sentral partai menjadi keputusan partai yang mengikat semua pengurus dan anggota.
Akarnya adalah tata kelola politik dan demokrasi yang masih koruptif, dikelola secara personal dan oligarkis, serta mengabaikan pentingnya sistem checks and balances antar cabang kekuasaan, yang justru memfasilitasi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, dan seterusnya.