Menurunnya transaksi melalui ATM bagi perbankan adalah kesempatan untuk mereka mengefisiensikan kebutuhan mesin ATM
BARISAN.CO – “Tantangan bank saat ini ialah bagaimana mempensiunkan model (transaksi) lama, contohnya ATM,” ujar Kartika Wirjoatmodjo dalam “Side Event G20 Indonesia: Casual Talks on Digital Payment Innovation” (14/02/2022).
Ketua Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) itu mempertanyakan, apakah ke depan ATM masih relevan tatkala transaksi tunai di area publik sudah tidak ada lagi.
Pasalnya, kendati transaksi dengan ATM, kartu debet, dan kartu kredit masih tumbuh 14,39% yoy dengan nilai transaksi mencapai Rp.711,2 triliun per Januari 2022, dikutip dari Bank Indonesia. Namun, persentase pertumbuhan itu tertinggal jauh di bawah pesatnya peningkatan transaksi uang elektronik, digital banking, dan QRIS.
Menyitat data Bank Indonesia (BI) per Januari 2022, nilai transaksi digital banking tumbuh 62,82% secara tahunan mencapai Rp.4.314,3 triliun. Dan nilai transaksi uang elektronik meningkat 66,65% secara tahunan menjadi Rp.34,6 triliun. Sementara, transaksi lewat QRIS secara nominal dan volume secara tahunan masing-masing tumbuh hingga 290% dan 326%.
Dampak Inovasi Sistem Pembayaran
Pesatnya pemanfaatan sistem pembayaran, di satu sisi, menunjukkan bahwa telah terjadi lompatan pada inovasi sistem pembayaran yang semakin dapat diandalkan dan mudah diakses oleh masyarakat luas. Di sisi lain, tentu terdapat jenis pembayaran yang terdampak dari inovasi tersebut.
Kartika menyebutkan, bisnis acquiring perbankan, seperti POS (Point of Sales) dan EDC (Electronic Data Capture) turut terdampak. Padahal, selama ini, jenis pembayaran tersebut menjadi keunggulan kompetitif bagi bank. Namun ke depan tak menutup kemungkinan bakal tergantikan dengan kecanggihan digital banking dan uang elektronik.
Walaupun demikian, nyatanya tak semua dari masyarakat mau beralih dari pemanfaatan ATM ke digital banking atau uang elektronik. Dengan begitu, masyarakat kemudian akan memilih jenis pembayaran yang paling mudah dan murah. Sehingga perbedaan segmen akan menyebabkan perbedaan preferensi jenis pembayaran pula.
Mahalnya Ongkos Operasional ATM
Sementara itu, operasional mesin ATM sendiri ternyata memakan biaya yang cukup besar. Melansir Kompas, “Biaya perawatan untuk satu mesin ATM saja bisa mencapai Rp.144 juta per tahun,” sambat Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT BCA Tbk (03/03/2016). Itu sebabnya, menurutnya, operasional ATM turut menyumbang overhead cost perbankan.
Apalagi, pengadaan mesin ATM diimpor dari negara lain, sehingga untuk penambahannya tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu. Sebab, dalam keadaan nilai tukar tengah melorot, pengadaan ATM justru akan menambah beban bagi pihak bank.
Karena itulah, menurunnya transaksi di ATM bagi perbankan adalah kesempatan untuk mereka mengefisiensikan kebutuhan mesin ATM. BI mencatat, sejak 2019 terjadi tren penurunan mesin ATM sebesar 2,3% dari tahun sebelumnya menjadi 106.649 unit. Hingga September 2021, mesin ATM yang beredar sudah berkurang tinggal 99.262 unit.