Kelangkaan air juga menjadi ancaman nyata di Indonesia seiring dengan semakin berkurangnya hutan dan dampak perubahan iklim.
BARISAN.CO – Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1992 menetapkan 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat begitu pentingnya manfaat air bagi kehidupan.
Perubahan iklim disebut-sebut dapat memengaruhi sumber daya air terhadap kuantitas, variabilitas, waktu, bentuk, serta intensitas curah hujan. Pada gilirannya, ini berdampak pada semua sektor ekonomi.
Stres air menjadi salah satu ancaman paling serius saat ini bagi pembangunan berkelanjutan. Tekanan air yang tinggi, terlalu banyaknya pengambilan air tawar dari sumber alami ketimbang air tawar yang tersedia dapat berkonsekuensi menghancurkan lingkungan dan bahkan menghambat pembangunan ekonomi dan sosial.
Lebih buruknya, ini bisa menyebabkan kelangkaan air. Di berbagai belahan dunia, kelangkaan air sudah terjadi. Di Afrika misalnya, karena populasi yang terus-menerus bertambah dan perubahan iklim, diperkirakan tahun 2025, hampir 230 juta orang Afrika akan menghadapi kelangkaan air dan 460 juta lainnya akan tinggal di wilayah yang kekurangan air.
Terdapat dua jenis kelangkaan air, yakni ekonomi dan fisik. Kelangkaan air secara ekonomi merujuk kepada air yang tidak bisa diakses karena kurangnya perencanaan, investasi, serta infrastruktur. Ada pun kelangkaan fisik adalah efek samping dari perubahan iklim termasuk kekeringan dan perubahan pola cuaca.
Dan, Afrika menghadapi keduanya karena meningkatnya populasi dengan drastis, mau tak mau, permintaan air akan terus meningkat jika tidak adanya perencanaan dan persiapan untuk mengakomodasi kebutuhan ini, kelangkaan air secara ekonomi akan selalu menjadi masalah besar di sana.
Di sisi lain, selama beberapa tahun terakhir, Afrika dihadapkan beberapa kekeringan paling parah akibat dari perubahan iklim. Danau dan sungai mengering serta masyarakatnya harus menempuh jarak yang sangat jauh untuk mengakses air.
Tanpa air bersih, kemungkinan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan amatlah tipis. Khususnya, bagi anak perempuan dan anak-anak. Efeknya terjadi setiap menit sepanjang hari.
Dengan sumber air yang tidak bersih, jarak yang ditempuh hingga bermil-mil, anggota masyarakat berbadan sehat terpaksa menghabiskan waktu berjam-jam demi mencari dan mengangkut air. Wadah khas yang digunakan untuk pengumpulan air di Afrika, jerigen, beratnya lebih dari 40 pon apabila terisi penuh. Bisa dibayangkan betapa beratnya menggendong anak selama 3 jam setiap harinya ditambah para ibu harus menambah jerigen-jerigen itu di punggung mereka.
PBB memperkirakan, di Afrika Sub-Sahara untuk mengumpulkan air telah kehilangan 40 miliar jam per tahunnya. Itu sama dengan kerja setahun penuh seluruh tenaga kerja di Prancis.
Ketika solusi air diterapkan, pertanian berkelanjutan menjadi mungkin terjadi. Anak-anak kembali ke sekolah ketimbang mengumpulkan air kotor sepanjang hari atau sakit karena penyakit yang ditularkan oleh air. Orang tua menemukan lebih banyak waktu dengan keluarganya, memperluas pertanian minimal ke tingkat berkelanjutan, dan bahkan menjalankan usaha kecil-kecilan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, untuk setiap US$1 yang diinvestasikan untuk air dan sanitasi, bisa menghasilkan perekonomian antara US$3 hingga US$34.
Kelangkaan Air di indonesia
Berdasarkan data Statista tahun 2020, Indonesia menempati urutan ke-48 dari 157 negara di dunia yang menghadapi tingkat stres air dasar yang sangat tinggi dengan skor 3.61. Itu terjadi akibat irigasi pertanian, industri, serta penarikan pasokan air di perkotaan.
Sedangkan Singapura di urutan pertama karena minimnya sumber daya air alami dan telah bertahun-tahun bergantung pada pasokan negara tetangga, Malaysia. Namun demikian, dalam upaya mandiri terhadap air, Singapura mengembangkan sistem canggih dengan mengubah limbah menjadi air bersih yang dapat memenuhi 40 persen air bersih untuk dapat diminum.