Negara berbasis Islam tidak boleh melahirkan represi terhadap minoritas, penyeragaman tafsir, atau pemaksaan akidah.
Negara justru harus menjadi tempat di mana manusia dapat dengan jujur dan sadar memilih keimanannya, karena itulah hakikat keislaman yang otentik. Negara yang Islami adalah negara yang membiarkan iman tumbuh dalam batin manusia, bukan dalam sanksi hukum.
Di sinilah saya berbeda dari mereka yang menolak Islam sebagai ideologi negara atas nama pluralitas. Penolakan itu lahir dari ketakutan terhadap formalisasi, tetapi lupa bahwa negara sekuler pun memiliki ideologisasi yang tersembunyi.
Bahkan, dalam struktur negara modern, agama justru direduksi menjadi simbol, ritual, atau alat legitimasi, bukan sebagai sumber nilai.
Islam sebagai ideologi negara justru menantang dominasi nilai sekuler yang tak netral itu, dan menawarkan etika baru yang berbasis tauhid, keadilan, kasih sayang, serta keseimbangan ekologis.
Islam yang saya maksud di sini bukanlah Islam politis yang sibuk memburu kekuasaan. Bukan pula Islam formalis yang menjadikan hukum sebagai panglima tunggal.
Islam sebagai ideologi adalah struktur nilai yang mengalir ke dalam kebijakan negara dari kebijakan pendidikan hingga perlindungan lingkungan; dari pengaturan ekonomi hingga etika diplomasi. Islam sebagai ideologi adalah Islam yang hidup dalam struktur, bukan sekadar simbol.
Maka, membayangkan Islam sebagai ideologi negara bukanlah kemunduran sejarah, tetapi justru keberanian menantang struktur ideologi dominan yang telah gagal menyejahterakan dan memanusiakan.
Ini bukan tentang Islamisme, melainkan tentang membumikan nilai-nilai Islam ke dalam struktur sosial-politik secara etis, inklusif, dan berkelanjutan. Dalam dunia yang makin digerogoti oleh kekosongan makna, Islam layak hadir sebagai ideologi yang membebaskan manusia, bukan mengurungnya. []









