TULISAN INI MERUPAKAN bagian kedua dari tulisan saya tentang penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, jika di tulisan bagian pertama saya membahas keajaiban penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, maka pada catatan ringan kali ini saya mengupas sisi unik penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, khususnya di masa awal penyebarannya.
Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17 dengan dibawa oleh ulama asal Koto Tengah Minangkabau. Mereka diutus oleh Sultan Aceh atas permintaan Raja Tanete. Pendapat lain menyebut kedatangan para ulama tersebut atas permintaan para pedagang Melayu muslim yang sudah mentap di Gowa.
Saat itu terjadi persaingan antara pedagang melayu Muslim dengan orang kulit putih yang beragama Kristen. Kedua pihak berupaya memengaruhi Raja Gowa-Tallo untuk memeluk agama mereka, namun upaya keduanya tidak berhasil.
Dalam pandangan pedagang Melayu Muslim, Raja Gowa memperlihatkan kecenderungan tertarik pada agama Kristen, maka mereka kemudian bersepakat untuk mencari ulam cerdas paham Islam yang bisa menyiarkan Islam ke pihak Istana Gowa.
Atas jaringan perkenalan yang mereka miliki, mereka akhirnya bisa berkomunikasi dengan Raja Aceh memohon dikirimkan ulama penyebar Islam ke Sulawesi Selatan. Sebab berjumlah tiga orang akhirnya ulama tersebut populer dengan sebutan Datu Tallua, yakni Abdul Makmur Khatib Tunggal yang kemudian populer sebagai Datuk ri Bandang, Sulaiman Khatib Sulung atau lebih dikenal dengan Datuk Pattimang, dan Abdul Jawad Khatib Bungsu yang lebih dikenal sebagai Datuk ri Tiro.
Saat Datuk Tallua tiba di Gowa (1602), Raja Gowa I Mangerange daeng Manrabiya masih sangat muda dan belum bersedia diislamkan. Oleh mangkubumi (perdana menteri) Kerajaan Gowa, Karaeng Matoayya, Datuk Tallua disarankan ke Luwu, menyebarkan Islam terlebih dahulu di Kerajaan Luwu mengingat Luwu merupaka kerajaan tertua yang paling dimuliakan.
Di Luwu Datuk Tallua bertemu dengan Raja Luwu La Patiware Daeng Pareppu. Saat pertama tiba di Luwu, Datuk Tallua melihat kepercayaan masyarakat yang masih memuja benda-benda gaib. Setelah menghadap, maka raja meminta penjelasan Datu Tallua tentang agama yang mereka siarkan, sang raja senang dengan penjelasan dari datuk, salah satu hal yang mebuat raja senang karena penjelasan Datuk Sulaiaman tentang Tuhan yang tunggal dalam Islam oleh sang raja dianggap mirip dengan konsep Dewata Sewwae dalam kepercayaan masyarakat Luwu saat itu.
Di sini terlihat cara menyebarkan Islam yang unik dari Datuk Sulaiman. Ia selalu berupaya mencari titik temu dengan pandangan masyarakat setempat.
Walaupun senang sang raja tidak serta merta menerima Islam, maka dilakukan dialog yang panjang yang dihadiri banyak orang, dialog ini berlangsung beberapa hari, sang raja kemudian menguji kemampuan Datuk Sulaiman sebagai pimpinan rombongan.
Raja memberi syarat agar semua yang mampu dilakukan oleh raja juga harus mampu dilakukan oleh Datuk Sulaiman, begitupun sebaliknya, jika datuk berhasil maka raja masuk Islam namun bila gagal maka Datuk Tallua harus meninggalkan tanah luwu, dengan izin Allah Datuk Pattimang berhasil melalui ujian tersebut. Raja Luwu kemudian masuk Islam pada 1603 M.
Proses awal pengislaman di Luwu difokuskan pada bagian ketauhidan yang diajarkan dengan metode ilmu kalam tentang keesaan Allah dan sifat-sifat Allah. Setelah menganut Islam Raja Luwu berganti nama menjadi Sultan Muhammad Mudharuddin.
Proses islamisasi di Luwu berlangsung cepat karena didukung penuh oleh birokrasi kerajaan. Setelah Raja Luwu berhasil diislamkan, Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro kemudian berlayar ke Makassar, sementara Datuk Pattimang memutuskan tinggal di Luwu melanjutkan misi penyebaran Islam.