Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Bunga Utang Akan Terus Dibayar dengan Utang Baru

Redaksi
×

Bunga Utang Akan Terus Dibayar dengan Utang Baru

Sebarkan artikel ini

Oleh: Awalil Rizky, Ekonom

Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berarti pendapatan telah dipakai seluruhnya untuk belanja, namun masih belum mencukupi. Sebagian belanja menggunakan dana hasil berutang lagi pada tahun bersangkutan. Dana utang pula yang dipakai untuk membayar pokok utang, baik cicilan maupun pelunasan.

Hal demikian berlangsung tiap tahun anggaran selama era reformasi. Pada era Soeharto (1970-1998) pun sebenarnya APBN cenderung defisit. Hanya pernah alami 5 kali surplus. Yaitu pada tahun anggaran 1977/78, 1990/91, 1995/96, 1996/1997, dan 1997/1998.

Tahun anggaran era Soeharto, dimulai 1 April sampai dengan 31 Maret tahun berikutnya. Dahulu ditampilkan seolah seimbang, antara lain karena penarikan utang diperlakukan seperti penerimaan. Meski demikian, pos-pos APBN tahun 1970-1999 dapat diolah kembali agar dapat diperbandingkan dengan tahun 2000 dan setelahnya.

Diantara pos Belanja Negara terdapat pos pembayaran bunga utang. Bunga utang itu mencakup yang diterima oleh pemberi utang serta seluruh biaya pengadaan dan pengelolaan utang yang terkait langsung.

Sebagai contoh, realisasi sementara APBN tahun 2020 melaporkan belanja sebesar Rp2.590 triliun. Termasuk di dalamnya, suatu jenis belanja yang disebut pembayaran bunga utang, yang sebesar Rp314 triliun.

Terkait dengan itu, penyajian ringkasan APBN (postur) menyajikan suatu pos yang disebut Keseimbangan Primer (primary balance). Arti pentingnya dalam analisa risiko fiskal dan penilaian kesehatan APBN membuatnya tercantum dalam postur APBN yang resmi. Keseimbangan primer (KP) merupakan selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang.

KP merupakan informasi yang serupa dengan surplus atau defisit APBN, namun seolah bunga utang tidak dibayarkan. Dapat bernilai positif atau surplus, dan bernilai negatif atau defisit. Meski belum pernah terjadi, bisa saja bernilai nol atau impas.

KP yang bernilai positif berarti seluruh atau sebagian bunga utang dibayar dengan pendapatan. Jika nilai positifnya lebih besar dari pembayaran bunga, maka seluruh bunga masih dibayar dengan pendapatan. Pernah terjadi dalam beberapa kali tahun anggaran era Soeharto. Tidak pernah terjadi di era reformasi.

Selama era reformasi, KP beberapa kali mengalami nilai positif, namun nilainya lebih kecil dari bunga utang. Sebagian bunga utang dapat dibayar dengan pendapatan. Namun, sebagiannya lagi harus memakai dana penarikan utang baru.

KP yang bernilai negatif berarti seluruh pembayaran pokok utang dan bunga utang memakai dana penarikan utang baru. Pernah terjadi beberapa kali di era Soeharto. Sejak tahun 2012, KP selalu bernilai negatif, dengan besaran yang berfluktuasi.

Pada realisasi sementara APBN 2020, KP tercatat bernilai negatif atau defisit sebesar Rp642 triliun. Sejauh ini merupakan rekor tertinggi. Beriringan dengan rekor dalam hal defisit, yang mencapai Rp1.039 triliun. 

Kondisi KP yang negatif diproyeksikan oleh Pemerintah masih akan berlangsung hingga tahun 2025. Hal itu terungkap dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun 2022. KEM-PPKF merupakan “dokumen pendahuluan” dari Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). KEM-PPKF disampaikan kepada DPR pada tanggal 20 Mei lalu dan akan dibahas oleh DPR selama satu bulan.

Pada halaman 107 dokumen KEM-PPKF 2022 terdapat tabel Postur Makro Fiskal Jangka Menengah 2021-2025. Antara lain disajikan proyeksi Pendapatan, Belanja, Defisit dan Keseimbangan Primer, dan rasio utang. Besarannya ditampilkan dalam nilai persentase atas PDB nominal. Proyeksi PDB nominal sendiri dicantumkan berupa nilai dengan satuan triliun rupiah.