JALAN kaki adalah aktifitas manusia yang paling natural dan sederhana. Namun, di balik kesederhanaan itu sangat banyak manfaatnya dan malah menjadi tradisi para filsuf dunia.
Friedrich Nietzsche, Jean-Jacques Rousseau Hendy David Thoreau, Immanuel Kant sampai Mahatma Gandhi adalah para pejalan kaki yang tekun dan fanatik. Jalan kaki bagi mereka bukan lagi sebuah rutinitas olahraga tetapi sebagai sebuah pengembaraan intelektual.
Nietzsche misalnya tiap hari bisa berjam-jam jalan kaki dan mendaki Pegunungan Alpen Swiss untuk meredakan, mengalihkan dan melupakan rasa sakit yang mengerogoti tubuhnya. Nietzsche juga berjalan kaki menembus hutan dan melakukan percakapan yang sangat mendalam dengan dirinya sendiri.
Begitu juga dengan Thoreau yang dikenal dengan pengalamannya hidup di hutan dan setiap hari hampir empat jam berjalan kaki di perdesaan Concord Amerika Serikat.
“Anda berjalan bukan untuk membunuh waktu, melainkan untuk menyambut waktu, untuk memetik daun-daunnya dan helai-helai mahkota bunganya satu per satu, detik demi detik,” demikian Thoreau memaknai kebiasaan jalan kakinya seperti dikutip dari “A Philosophy of Walking”.
Thoreau yang mengabadikan perjalanan spiritualnya lewat buku bertajuk “Walking” dan “Walden” juga pernah menulis, “Menurut ukuran ekonomi tradisional, berjalan kaki adalah waktu yang terbuang, tersia-sia, waktu yang mati dan tidak menghasilkan kekayaan apapun.”
Untuk perkara jakan kaki, Rousseau lebih gila lagi dan mungkin tak ada yang bisa menandinginya sampai sekarang. Dalam “The Socrates Express”, Rousseau disebutkan sehari berjalan kaki sejauh 30 kilometer. Bahkan pernah suatu waktu berjalan dari Jenewa ke Paris sejauh 485 kilometer ditempuh dalam dua pekan.
“Aku sama sekali tidak bisa berpikir saat akun diam, tubuhku harus bergerak agar pikiranku aktif. “
Immanuel Kant juga seorang pejalan kaki yang hebat. Jalan kaki menjadi rutinitasnya sampai-sampai orang di sekitarnya di wilayah Koningsberg mencocokkan jamnya dengan waktu jalan kaki Kant setiap hari yang dimulai pukul 12.45.
Jalan Kaki Itu Miskin?
Anggapan jalan kaki itu miskin sudah terinternalisasi di masyarakat Indonesia. Orang dianggap hebat bila ke mana-mana naik sepeda motor atau mobil. Padahal hanya membeli bakwan di depan rumah atau cuma beli sayuran di warung tetangga.
Karena itu bagi sebagian orang jalan kaki untuk mengantar anak sekolah sekira 500 meter sangat malu karena takut disebut miskin. Padahal saat berjalan kaki itu kita dapat bertegur sapa dengan pedagang di pinggir jalan atau di sebuah gang dan anak-anak yang kita antar dapat dikenalkan kepada tumbuhan liar dan jenis serangga yang kita temui saat jalan.
Padahal mereka tahu dengan aktivitas keseharian yang serba sepeda motor atau mobil tanpa disadari mereka telah banyak membakar bensin, membakar uang dan merusak udara. Janganlah berpikir tentang pemanasan global atau perubahan iklim (terlalu rumit). Mereka lupa, lemak sendiri dalam tubuhnya tidak dibakar.
Pantaslah seorang peneliti di Stanford University menobatkan orang Indonesia sebagai bangsa yang paling malas di dunia. Penelitian yang sangat sederhana cukup dipantau dari pergerakan manusia lewat smartphone.
Hasil penelitian itu menyebutkan rata-rata orang Indonesia hanya berjalan kaki 3.513 langkah setiap hari. Coba bandingkan dengan orang Hongkong yang setiap hari mereka dapat berjalan kaki rata-rata sebanyak 6.880 langkah.
Kalau Rousseau justru dengan tidak berjalan kaki takut pikirannya tidak aktif sebaliknya orang Indonesia malas jalan kaki karena khawatir disebut orang kere!