Namun, lonjakan PHK di provinsi ini menunjukkan bahwa strategi relokasi semata tidak cukup menjamin keberlanjutan kerja tanpa perbaikan dalam kualitas SDM dan diversifikasi ekonomi.
DKI Jakarta dan Banten, yang selama ini menjadi pusat kegiatan ekonomi nasional, justru menempati posisi kelima dan keenam.
Ini bisa jadi mengindikasikan adanya strategi efisiensi yang lebih awal diterapkan atau mulai beralihnya industri ke sektor digital yang lebih ramping dan tidak menyerap tenaga kerja sebanyak sektor konvensional.
Namun tetap saja, jumlah PHK yang tercatat menunjukkan bahwa sentra ekonomi utama pun tidak imun dari krisis struktural.
Gelombang PHK ini memberikan sinyal keras bahwa transformasi digital dan restrukturisasi industri harus dibarengi dengan strategi ketenagakerjaan yang inklusif.
Indonesia tidak bisa mengandalkan pusat pertumbuhan lama semata. Diperlukan strategi pemerataan industri, pelatihan vokasi yang relevan, dan sistem perlindungan sosial yang adaptif di setiap wilayah.
Lebih dari itu, kita perlu melihat peta PHK ini sebagai “detektor ketahanan sosial-ekonomi daerah.” Provinsi yang paling rentan menjadi indikator awal perlunya intervensi pemerintah dalam membangun ekonomi berbasis keberlanjutan, bukan sekadar pertumbuhan.
Karena pada akhirnya, angka PHK bukan sekadar catatan birokrasi. Di baliknya ada cerita kegamangan, kekhawatiran keluarga, dan harapan yang tertunda.
Maka dari itu, narasi gelombang PHK harus ditanggapi sebagai momen untuk membenahi sistem ketenagakerjaan nasional yang adaptif terhadap krisis dan mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia secara adil dan progresif. []