Scroll untuk baca artikel
Berita

Pengangguran Turun, Tapi Kenapa Kondisi Pekerja Justru Makin Buruk?

×

Pengangguran Turun, Tapi Kenapa Kondisi Pekerja Justru Makin Buruk?

Sebarkan artikel ini
kemiskinan turun
Ilustrasi

Penurunan angka pengangguran di Indonesia tak selalu berarti kabar baik bagi pekerja.

BARISAN.CO – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia mengalami penurunan pada Februari 2025 menjadi 4,76 persen.

Meski demikian, jumlah penganggur justru bertambah sebanyak 83,45 ribu orang dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Penurunan TPT ini lebih disebabkan oleh meningkatnya jumlah angkatan kerja, bukan karena membaiknya penyerapan tenaga kerja.

Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menjelaskan bahwa data ketenagakerjaan terbaru BPS menunjukkan indikasi memburuknya kondisi para pekerja di Indonesia.

Ia menyoroti karakteristik ketenagakerjaan yang meliputi jam kerja, pendidikan, sektor usaha, hingga status pekerjaan yang mencerminkan masalah struktural yang belum terselesaikan.

Awalil menyoroti bahwa fenomena paradoks pengangguran rendah justru sering terjadi di negara berkembang dan negara berpendapatan rendah, termasuk Indonesia. Di negara maju, pengangguran rendah biasanya sejalan dengan rendahnya tingkat kemiskinan.

Namun di negara berkembang, pengangguran rendah sering menyamarkan realitas kemiskinan karena ketiadaan jaminan perlindungan sosial seperti asuransi pengangguran atau tunjangan kesejahteraan.

“Di negara seperti Indonesia, hanya mereka yang relatif kaya yang mampu menganggur. Sementara mereka yang miskin harus bekerja apa saja untuk bertahan hidup, sehingga terlalu miskin untuk bisa menjadi penganggur,” ujarnya kepada Barisan.co, Rabu (7/05/2025)

Data BPS menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada Februari 2025 mencapai 70,63 persen, tertinggi dalam belasan tahun terakhir untuk periode Februari.

Hal ini menunjukkan banyaknya penduduk usia kerja yang terpaksa masuk ke pasar tenaga kerja, bukan karena ada peluang kerja yang menjanjikan, tetapi karena tekanan ekonomi.

Sektor pertanian tercatat sebagai penyerap tenaga kerja terbesar dengan jumlah pekerja mencapai 41,76 juta orang—jumlah tertinggi dalam 13 tahun terakhir.

Awalil menilai sektor ini telah menampung tenaga kerja melebihi kapasitas yang dapat memberikan imbalan kerja yang layak.

Kondisi pekerja tak dibayar atau pekerja keluarga juga semakin mengkhawatirkan. Pada Februari 2025, jumlahnya mencapai 20,16 juta orang—tertinggi sepanjang sejarah pencatatan BPS. Sebelumnya pada 2019, jumlahnya hanya sekitar 14,76 juta orang.

“Pekerja keluarga dalam kenyataannya hampir setara dengan penganggur, karena tidak memperoleh penghasilan langsung. Namun, menurut definisi BPS, mereka tetap dianggap bekerja karena membantu orang lain mendapatkan penghasilan,” jelas Awalil.