DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, janda didefinisikan sebagai wanita yang tidak bersuami lagi karena bercerai ataupun karena ditinggal mati suami.
Ada banyak jenis janda di antaranya janda berhias, yaitu janda yang belum beranak. Selanjutnya ada janda kembang sebutan untuk janda muda yang cantik dan belum beranak.
Berikutnya dikenal janda muda yaitu janda yang usianya masih relatif muda dan terakhir janda tebal, yaitu janda yang kaya dari sisi materi atau dalam istilah anak muda jaman kiwari disebut janda tajir.
Namun entah istilah apa yang cocok untuk para janda yang tergabung dalam Paguyuban Janda Indonesia (PJI), sebuah organisasi yang baru didirikan enam bulan silam itu. Dan para pengurus PJI memang tidak perduli dengan sebutan atau stempel yang akan diberikan masyarakat.
Buat mereka istilah hanya akan memperpanjang kosa kata di kamus dan hanya akan menjadi permainan wacana pengamat sosial yang mencari popularitas di televisi.
Baginya, janda adalah janda. Biarkan ia terbebas dari kerangkeng makna, abstrak dan misterius. Bukankah sebagian orang suka dengan yang serba misterius?
Jeng Susi, 40 tahun, yang secara aklamasi terpilih menjadi ketua umum sempat melontarkan tekadnya untuk meningkatkan kesejahteraan para janda ketika presentasi program di sebuah hotel bintang lima di Jakarta. Saat itu dia juga merilis data jumlah janda paling anyar di Tanah Air yang diperoleh dari berbagai sumber.
“Janda harus bangkit!” serunya saat itu yang disambut riuh serta tepuk tangan sekitar 40 janda yang sekaligus menjadi pengurus pusat.
“Janda adalah aset bangsa bukan perusak bangsa. Tidak benar bila janda disebut sebagai penggoda istri orang. Itu oknum. Sekali lagi itu hanya oknum,” lanjutnya yang juga disambut standing ovasion.
Kepada wartawan yang merubunginya seusai jumpa pers, Jeng Susi yang sangat wangi sempat menanggapi isu yang sudah dilansir sebuah radio berita sebelumnya tentang tawaran untuk berafiliasi dengan dua partai politik besar, Partai Gigi Kuning dan Partai Bibir Putih.
“Apakah tawaran itu serius Jeng Susi?” tanya seorang wartawan kerempeng berkacamata tebal berambut jiggrak.
“Saya kembali jelaskan bahwa organisasi kami independen dan berusaha untuk tidak tersangkut urusan politik praktis,” jawabnya diplomatis.
“Jawaban Jeng Susi tidak jelas. Abstrak. Membingungkan dan penuh interpretasi,” sambar seorang wartawan infotainmen.
Sebelum menjawab pertanyaan, Jeng Susi sejenak membereskan rambut sasaknya. Rambut hasil olahan sebuah salon ternama. Mahal. Ah, mahal itu kan relatif.
“Maksud Anda?” Jeng Susi balik bertanya.
“Maksud saya, ya atau tidak siap bergabung,” timpal sang wartawan.
“Saya tidak suka dengan jawaban ya dan tidak. Jawaban itu tidak kreatif. Kurang eksplorasi. Dari jawaban tersebut tidak akan lahir wacana dan yang ada hanya hitam putih,” jawab Jeng Susi berapi-api.
“Saya tambah tidak mengerti. Jawaban Anda semakin abstrak.” komentar wartawan infotainmen itu sambil ngeloyor pergi.
Komentar Jeng Susi yang filosopis sudah pasti tidak akan menarik bagi tayangannya yang selalu mengeksploitasi perselingkuhan dan perceraian selebritas. Bahkan sudah pasti sang produser akan mentah-mentah menolaknya dan malah balik mencurigainya mendapat amplop.
Ujung-ujungnya sang produser yang sok tahu dan gila jabatan struktural minta ditraktir makan Gultik.
“Terus terang saja, saya trauma dengan partai politik.” Tiba-tiba Jeng Susi berucap dengan nada mengeluh.
“Bisa diperjelas, Jeng,” tanya seorang wartawan dari harian terbesar nasional yang kerap menulis masalah emansipasi wanita, feminisme, gender, dan advokasi perempuan, ini penasaran.