Scroll untuk baca artikel
Blog

Jepit Rambut – Cerpen Agung Wibowo

Redaksi
×

Jepit Rambut – Cerpen Agung Wibowo

Sebarkan artikel ini

MALAM itu Rendy kebingungan mencari dompetnya yang hilang. Terakhir sore tadi, ia pulang memancing di sebuah telaga yang berjarak 10 km dari rumah.

“Sial! Pasti dompetku tertinggal di warung dekat telaga itu,” gumamnya, “aku harus ke sana malam ini juga!”

Bersama motornya, Rendy melaju kencang ke arah telaga yang sudah gelap. Dan sampailah ia di sebuah warung yang akan segera tutup, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 malam.

“Maaf Bu, tadi apakah ada dompet yang tertinggal di sini?” tanya Rendy kepada ibu penjaga warung.

“Maaf, setahu saya nggak ada, Mas. Coba saja cari di sekitar sini!” kata ibu itu.

“Baik, Bu. Terima kasih,”

Dengan senter, Rendy pun mencari ke sana kemari termasuk di bibir telaga. Sampailah di dekat batu besar yang dipakainya untuk duduk memancing. Terkejutlah ia karena menjumpai mantan pacarnya yang sudah lama tak bertemu sedang bersandar pada batu itu.

“Cecil? Apakah itu kau?” tanya Rendy terkejut.

“Eh … Mas Rendy. Ngapain malam-malam ke sini? Sedang mencari sesuatu, ya?” tanya gadis itu.

“Eh, iya. Tapi kenapa kamu juga malam-malam ke telaga ini, apa kamu gak takut?”

“Iya, Mas. Aku bosan di dalam rumah. Sedang jalan saja ke sini. Lagian di rumah gak enak, gak ada teman yang bisa mengobati kegalauan hati ini,”

“Lho … bagaimana, sih? Kan, sudah ada si Aldi tunanganmu?” kata Rendy dengan menunduk kecut.

“Maaf, Mas Rendy. Cecil sudah tak bersamanya lagi. Dia jahat, tidak sebaik seperti Mas. Dan maaf atas keputusanku meninggalkanmu dulu. Cecil menyesal, Mas,” kata Cecil tertunduk sedih.

“Hmmm … aku sudah memaafkanmu sejak lama, Cecil. Kalau bukan karena orang tuamu, aku pun tak akan mau pergi begitu saja. Ibumu memang sudah mempunyai calon. Namun terus terang aku …,” kata Rendy tak meneruskan.

“Kenapa, Mas?”

“Aku … masih mengharapkanmu,” sahut Rendy tertunduk melirik Cecil.

“Maaf, Mas. Aku takut akan mengecewakanmu. Memang kita menjalin hubungan selama 3 tahun, sampai dipisahkan. Namun untuk memulainya lagi, aku ragu,” jawab Cecil.

“Maaf, Cecil. Mungkin aku terlalu terburu-buru untuk mengatakan itu. Lagi pula ibumu sungguh keras kepadaku. Sekali lagi maaf. Tapi bolehkan mas mampir ke rumah kapan-kapan? Semoga saja beliau sudah tidak marah,”

Cecil pun hanya mengangguk saja dengan malu menyodorkan sebuah dompet yang dipegang dari balik punggungnya.

“Ini ….” kata Cecil.

“Lho, ini kan dompetku? Terima kasih Cecil, kau yang menemukannya sejak tadi, ya? Pantasan tanya aku sedang mencari sesuatu. Kamu ini …,” kata Rendy mencubit lengan Cecil.

“Idihhh … Mas Rendy masih genit! Dasar nakal, sebodo ah …,” ujar Cecil manja dengan masih menunduk malu.

Kedua sejoli itu saling mengobrol mengenang masa lalu mereka. Canda dan sedikit kemesraan yang telah lama terpendam dalam hati, tercurahkan di sebuah percakapan yang akrab tetapi terasa kikuk. Mengingat bahwa mereka sangat sulit untuk menjalin hubungan kembali.

“Cecil, hari sudah malam, ayuk kita pulang! Kamu gak pakai motor, kan?”

Baiklah, tapi antar, ya! Aku capek jalan kaki dari rumah tadi,” jawab Cecil.

“Oke, Tuan Putri. Hamba laksanakan!” Rendy pun bersemangat.

Dengan hati berbunga-bunga keduanya berboncengan melaju pulang ke arah rumah Cecil. Namun ketika sampai di ujung gang yang agak jauh dari rumahnya, Cecil meminta untuk turun.

“Sini saja, Mas Rendy. Cecil gak mau kalau sampai rumah. Takut sama Ayah dan ibu,” kata Cecil turun dan berlari.

“Baiklah tapi …, lho …?” Rendy menengok ke belakang hendak berkata, namun Cecil telah hilang dari pandangannya dengan meninggalkan jepit rambut emas yang terjatuh di jalanan.