Ahh.. pertanyaan pertanyaan yang menggelitik namun Aqila tak ingin menanyakan pada ayahnya. Ia selalu percaya ayahnya memiliki banyak pengalaman hidup dan membagikan kebenarannya pada anak anaknya. Aqila juga yakin apa yang dikemukakan ayah kali ini tentang pernikahan adalah benar. Namun, apakah aku mampu? Apakah aku sanggup? Aqila hanya mampu berdialog dalam batinnya sendiri.
“Nak, sudah saatnya kebun teh kau kelola sepenuhnya. Ayah sudah tidak sanggup. Adik adikmu biarlah fokus menyelesaikan kuliah dahulu. Untuk itu, kau perlu pendamping hidup. Agar bisa terselesaikan semua urusan dengan baik Nak. Kau tetap bisa bekerja , sementara suamimu kelak bisa kau percaya untuk mengelola perkebunan.”
“Usia ayah sudah tua Nak, ayah ingin melihat kau bahagia bersama cucu cucu ayah…” Ayah memandangku lekat lekat. Matanya yang coklat penuh harap. Tubuhnya yang tak berdaya di kursi roda membuatku tak pernah bisa menolak permintaannya. Oh, betapa aku tak sanggup menghitung jumlah keriput yang akan bertambah di wajah beliau jika aku menolaknya. Sungguh aku tak tega.
“Baiklah Yah …” kataku kemudian.
“Aku setuju dengan rencana ayah.”
“Syukurlah Nak, akhirnya kau setuju,” ayah tersenyum bahagia memandangku. Kedua tangannya dibuka lebar hendak meraih bahuku. Aku memeluknya erat erat. Tak ada tawar menawar untuk kebahagiaan sang ayah.