Pengukuran tanah tengah berlangsung, disertai pengamanan sepihak yang dilakukan aparat. Kini suasana desa kami sangat mencekam; aparat adalah sepatu larsa, tameng, senjata
APALAGI yang dibawa warga desa, kalau bukan cangkul, parang atau sabit, guna bertani atau berkebun. Ya, kami petani, yang bekerja menanam padi guna memberi makan orang kota. Tapi di saat kami menderita oleh tindakan represif penguasa, adakah di antara kalian yang peduli.
Pun lembaga-lembaga resmi; kalau kalian mengaku bervisi memperjuangkan nasib rakyat, masih ingatkah kalian kalimat puisi Rendra. Bahwa, “perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.” Bukan kata-kata yang kami butuhkan, tapi mana tindakan kalian?
Kala kami tengah bekerja dengan cangkul, parang atau sabit, kami dianggap membawa senjata tajam. Lalu ratusan aparat menengarai kami hendak melakukan kerusuhan. Kami memang menolak adanya proyek raksasa di tanah produktif kami.
Pengukuran tanah tengah berlangsung, disertai pengamanan sepihak yang dilakukan aparat. Kami katakan sepihak, sebab tanpa ada dialog — musyawarah demi mufakat — kami dicecar, diburu, disergap. Dipukul, ditendang, digelandang. Sebelumnya, sebagian dari kami ditangkap Polisi saat istigosah di masjid.
Kini suasana desa kami sangat mencekam; aparat adalah sepatu larsa, tameng, senjata. Satu tentara saja di mata kami adalah keadaan genting, seperti mau pergi berperang. Ini banyak tentara, desa serupa medan perang. Kami tidak berani keluar rumah, berdiam dengan awas dan rasa was-was.
Dalam hening dingin dan ketakutan menghantui, kami hanya bisa berdoa dan mujahadah di masjid. Diantara sayup tangis kanak-kanak dan desah ibu mendiamkan, angin menggugurkan daun ke tanah basah oleh hujan sehari-hari.
Dengarlah lafas lafal kami dalam hela napas diantara degup jantung, perlahan dalam sunyi lampus, “Allahuakbar…” [Luk]