DIMANA kebahagiaan bisa dibeli. Di toko atau mall mana rasa bahagia itu dijual dan kita bisa membelinya. Pertanyaan ini barangkali ada di benak kaum materialistis. Para kapitalian yang menghamba pada keduniawian.
Mereka sukses materi, tapi mereka tidak mendapatkan kebahagiaan dalam hidup bergelimang harta. Maka yang mereka dapat kegelisahan, sebab di saku mereka tidak ada rasa bahagia.
Dalam sejarah dunia banyak contoh raja-raja mengalami frustasi karena gagal memburu kebahagiaan. Sebutlah nama-nama Kaisar Nero atau Caligula. Apa yang mereka sangka rasa bahagia ternyata nafsu Angkara. Apa yang mereka kira puncak kebahagiaan jebul rasa frustasi berkepanjangan.
Dalam sesanti Jawa ada disebutkan: kebahagiaan adalah buah yang dipetik dari pohon tanggungjawab.
Jadi kata kuncinya, bahwa hidup manusia ada dalam dua sisi, yakni hak dan tanggungjawab. Namun lebih banyak orang mengutamakan hak, sambil mengesampingkan tanggungjawab. Padahal, kebahagiaan justru kita dapat dari tanggungjawab. Dari memberi, bukan semata menuntut hak menerima segala.
Sebab, tatkala kita memberi dengan rasa kasih sayang, disitulah bibit kebahagiaan. Memberi dalam hal materi atau im-material.
Lalu bagaimana menafakurkan kebahagiaan. Tatkala tanggungjawab telah dikerjakan. Setelah pemberian berdasar kasih sayang sudah kita tunaikan. Apa yang kita dapat dalam kesendirian bersama Sang Pencipta.
Ki Ageng Suryomentaram pernah berujar: aku neng kene, saiki, koyo ngene, wis bungah.
“Aku di sini, sekarang ini, seperti ini, sudah bahagia…”***