Sudah sepatutnya pemerintah merasa malu karena gagal melindungi data pribadi masyarakat Indonesia sekian kalinya.
BARISAN.CO – Zaman dulu, seseorang yang melanggar norma mendapatkan hukuman publik yang lebih brutal sebagai tontonan termasuk mengikat penjahat ke tiang cambuk atau di belakang gerobak di mana mereka akan dicambuk di jalanan, dimulai dan diakhiri di lingkungan si pelanggar sendiri sehingga semua orang yang mereka kenal dapat menunjuk dan mencemoohnya.
Bentuk aib hukuman permanen lainnya termasuk pencitraan merek dan mutilasi wajah — sebuah praktik yang dimaksudkan tidak hanya untuk menyebabkan rasa sakit tetapi meninggalkan tanda ketidaksetujuan publik yang tidak mungkin disembunyikan. Itu dilakukan untuk membuat mereka malu atas tindakannya.
Pada dasarnya, rasa malu mengendalikan hidup kita dengan banyak cara yang ampuh. Meski, aturannya tidak tertulis, rasa malu bisa menjadi kompas moral. Dan ketika berbicara tentang figur publik, seperti pemimpin politik, kami memiliki harapan yang lebih besar untuk standar moral mereka. Kalau begitu, apakah kita harus khawatir jika para pemimpin politik menjadi tidak tahu malu?
Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau meminta maaf karena mengenakan riasan wajah hitam di sebuah pesta tahun 2001, tampaknya mengakui bahwa ia harus menunjukkan rasa malu atas tindakannya.
Tetapi para pemimpin dunia lainnya tampaknya tidak merasakan kewajiban yang sama. Ambil contoh komentar menghina Presiden AS Donald Trump “ambil mereka dengan memek”, dan keputusan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk menutup parlemen Inggris. Meskipun yang pertama dikecam secara luas dan yang terakhir diberitahu bahwa tindakannya benar-benar melanggar hukum, tidak ada yang meminta maaf. Bahkan, mereka berlipat ganda.
Sementara perilaku memalukan, yang didefinisikan sebagai pelanggaran perilaku sosial yang diterima adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Sementara, tidak tahu malu sebenarnya merupakan ancaman bagi tatanan sosial. Itu karena melibatkan penolakan untuk mematuhi aturan sosial yang disepakati. Pada akhirnya, dengan mengabaikan nilai-nilai di mana kita telah membangun masyarakat, itu mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan.
Terlepas dari semua ini, kita tampaknya memasuki era di mana kita tidak bisa lagi mengharapkan pejabat publik yang dipilih untuk mengandalkan rasa malu untuk bertindak dengan penyesalan dan menebus kesalahan.
Belum lama ini, Menteri Komunikasi Informatika, Johnny G. Plate menjawab dugaan kebocoran data 1,3 miliar registrasi kartu SIM. Menurutnya, data pribadi seperti NIK harus dijaga sehingga tidak saling lempar kesalahan, namun perlu dicari penyebab kebocoran datanya.
Rabu (7/9/2022), sejumlah anggota Komisi I DPR menyecar Kominfo karena insiden kebocoran data hingga mencapai tiga kali dalam waktu satu bulan itu memalukan. Namun, bukan itu saja, data pribadi Menkominfo dan dan surat rahasia Presiden juga turut bocor.
Bahkan, kini, nama Bjorka, hacker yang meretas data pribadi tersebut trending di Twitter. Bukan dicela melainkan netizen menganggap, Bjorka adalah pahlawan baru bagi rakyat.
Kominfo sendiri menyebut, masalah serangan siber ini bukan kewenangan mereka, namun domain dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Juru Bicara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Ariandi Putra dalam pernyataan resminya yang diterima barisanco mengutarakan, keamanan siber merupakan tanggung jawab bersama.
Dilansir dari The Article, tidak adanya rasa bersalah dan rasa malu menjadi elemen yang berkembang dalam budaya politik kita saat ini. Permainan menyalahkan menjadi hiburan dan sebagiannya pelampiasan kemarahan dan dendam. Dalam artikel berjudul “Our politicians incapable of feeling guilt or shame. So they play the blame game..” itu disebutkan, bila terbiasa dalam keadaan tersebut, maka kita semua akan berada dalam masalah.