Scroll untuk baca artikel
Terkini

Kegagalan Reforma Agraria Era Jokowi: Ketimpangan UU dengan Kenyataan di Lapangan

Redaksi
×

Kegagalan Reforma Agraria Era Jokowi: Ketimpangan UU dengan Kenyataan di Lapangan

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Peneliti Pusat Studi Hukum dan HAM LP3ES, Herlambang P. Wiratraman menyampaikan program landreform sama sekali tidak tersentuh sesuai dengan apa yang diperjuangkan para petani. Padahal, kegagalan reforma agraria itu mempunyai dampak yang tidak kecil.

Melahirkan pemiskinan sosial ekonomi secara luas, karena petani justru tidak sejahtera, bahkan tidak ada proses penyelesaian yang diharapkan, malah muncul kekerasan demi kekerasan yang muncul di berbagai daerah.

Seperti contoh yang terjadi di Kebumen di mana tiba-tiba terjadi sertifikasi masif oleh TNI AD. Juga kasus di Pasuruan, Kec. Sumberanyar, Kec. Grati, di mana muncul kekerasan dan kriminalisasi warga. Bahkan timbul upaya merelokasi warga, padahal tidak mungkin bagi warga untuk melanjutkan kehidupannya tanpa tanah.

Dalam rangka Hari Tani perlu ditelusuri apa kabar program pemerintah ihwal reformasi agraria sesuai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan ketentuan-ketentuan redistribusi lahan lainnya.

“Hal itu perlu karena publik sampai hari ini hanya paham bahwa implementasi dari UUPA itu hanya sebatas pembagian sertifikat tanah dan seterusnya. Padahal apa yang tertuang dalam rencana kebijakan amat berbeda dengan kenyataan di lapangan,” terang Herlambang dalam pengantar diskusi dengan tema Kemunduran Demokrasi dan Gagalnya Reforma Agraria oleh LP3ES, Kamis (23/9/2021).

Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Siti Rakhma Mary mengatakan sampai dengan hari ini, reforma agaria memang tampak masih carut marut. Ketimpangan antara ketentuan Undang-undang reforma agraria dengan kenyataan di lapangan masih harus banyak dielaborasi. Ketimpangan realitas dengan ketentuan undang-undang yang ada terletak pada beberapa hal penting.

Ketimpangan tersebut menurut Siti Rakhma, seperti pertama, adanya Ketimpangan penguasaan lahan. 54,29 % lahan pertanian rakyat dikuasai oleh 12,37 % golongan petani yang menguasai lahan 2 ha ke atas.

Kedua, jumlah petani yang menyusut. Sensus BPS (2013) Terjadi penurunan jumlah petani dari 31,17 juta RTP (rumah tangga petani) pada 2003 menjadi 26,13 juta RTP pada 2013.

Ketiga, ketimpangan penguasaan lahan untuk sawit. Terdata, ada HGU yang mencapai 15 juta ha. Dengan 5 grup usaha sawit yang menguasai lahan sawit terbesar yakni Golden Agri Resources (Sinar Mas) 502,847 ha, Indo Agri (Indofood) 387,937 ha, Astra Agro Lestari 297,011 ha, Sime Darby 279,691 ha, dan Bumitama Agri 233.000 ha. Terdapat 2.535.459 ha dikuasai oleh 10 grup usaha yang rata-rata memiliki 253.549 ha per grup usaha. Sementara dara ATR ada 7.463.948 ha saja luas lahan baku sawah.

Keempat, ketimpangan penguasaan hutan. Berdasarkan hasil evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan SDA (GNPSDA) KPK pada 2018, sebanyak 40,46 juta hektar lahan di kawasan hutan dikuasai oleh usaha besar, sedang masyarakat hanya 1,74 juta hektar

“Penyebab ketimpangan terjadi antara lain karena terus diterbitkan dan diperpanjangnya izin-izin bidang kehutanan, pertambangan dan keputusan-keputusan pemberian HGU tanpa setahu masyarakat,” terang Siti Rakhma

Siti Rakhma  menambahkan disamping itu adanya proyek infrastruktur (mulai masif pada masa SBY) merebak pada masa Jokowi melalui Proyek Strategis Nasional. Juga, konservasi lahan-lahan pertanian untuk infrastruktur dan investasi sebanyak 200 ribu hektar per tahun.

“Ketimpangan terus terjadi, tanpa adanya keberpihakan negara atas kasus-kasus konflik agraria baik karena berkonflik dengan klaim asset negara, klaim tanah militer, dan diperburuk dengan munculnya ketimpangan baru akibat disahkan UU Omnibus law Cipta Kerja yang semakin memperkuat cengkeraman oligarki plus disahkannya UU Minerba,” sambungnya