Mengapa manusia cenderung percaya kalau rumput tetangga lebih hijau?
BARISAN.CO – Suatu hari, seorang narsum berkata, “Mbak, tinggal di kota kan? Jadi, nggak tahu”. Rasanya seperti dihantam seketika.
Iya tinggal di kota memang membuatku lalai. Bahkan, kehidupanku saat ini terbilang mudah. Setiap hari tersedia makanan, tempat tinggal yang nyaman, dan keluarga serta lingkungan yang menyenangkan.
Beberapa tahun terakhir, hampir tidak ada yang perlu dikeluhkan. Namun, ketika mendengar tentang cerita kehidupan orang lain yang tak seberuntung diriku, perasaanku campur aduk, entah aku harus bersyukur atau bersedih.
Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana uang Rp30 ribu bisa digunakan untuk makan satu keluarga dan jajan anak-anak.
Tidak. Sama sekali tidak bisa membayangkannya. Sementara, beras satu liter bisa 10 ribu rupiah. Bagaimana dengan minyak goreng, lauk, sayuran, dan bumbu? Entah, aku benar-benar tidak pernah membayangkan itu semua.
Dia berjualan di daerah Kalimantan. Dikatakan, dia tak berani mengambil untung kalau harga-harga naik karena khawatir tetangganya tak mampu membeli.
Sedih? Tentu saja. Bersyukur atas kemudahan yang aku terima dalam hidup, itu pasti.
Membandingkan diri sendiri dengan orang lain itu sering kali dilakukan oleh manusia. Itu semata bertujuan sebagai orientasi untuk melihat posisi kita dalam suatu kelompok dan apakah kita perlu mengambil tindakan untuk meningkatkan kinerja atau posisi kita.
Dalam psikologi, ada teori perbandingan sosial yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat mendefinisikan dirinya secara mandiri, tetapi hanya dalam hubungannya dengan individu lain.
Teori perbandingan sosial dikembangkan oleh psikolog kognitif Leon Festinger pada tahun 1954. Menurut pendekatan ini, kita dapat mengidentifikasi dua jenis perbandingan sosial:
- Perbandingan ke atas: ketika kita membandingkan diri kita dengan orang yang menurut kita lebih baik dari kita; dan
- Perbandingan ke bawah: ketika kita membandingkan diri kita dengan orang yang kita anggap lebih buruk dari kita.
Jadi, tidak mengherankan jika ada istilah rumput tetangga lebih hijau karena keseringan kita membandingkan diri kita ke atas bukan ke bawah.
“Membandingkan diri kita sendiri diperlukan untuk menemukan jawaban yang lebih baik atas pertanyaan abadi tentang siapa kita.”
Namun, mengapa manusia cenderung percaya kalau rumput tetangga lebih hijau? Kita bahkan tak jarang pasangan pun mungkin membandingkan satu sama lain. Ini disebut dengan grass is greener syndrome alias sindrom rumput lebih hijau.
Mengutip Psych Mechanics, orang yang percaya bahwa rumput tetangga lebih hijau karena tidak puas dengan apa yang mereka miliki. Mereka percaya akan bahagia dan puas ketika mereka memiliki apa yang tidak mereka miliki saat ini. Hal itu termasuk di antaranya pekerjaan, pasangan, mobil yang berbeda, dan lain-lain.
Nahasnya, mereka justru menjadi sengsara. Mekanisme psikologis ini bekerja sama untuk memotivasi manusia purba untuk mencari lebih banyak sumber daya daripada yang mereka miliki.
Kita juga punya biasa dalam menilai dan mendambakan hal-hal yang terlalu jauh dari jangkauan. Ketidakpuasan merupakan mesin pendorong untuk mengumpulkan lebih banyak sumber daya. Alhasil, kita melihat rumput tetangga lebih hijau.
Hanya karena kita memiliki bias untuk percaya bahwa rumput tetangga lebih hijau tidak selalu berarti tidak demikian. Beberapa tahun lalu, aku ingat betul, seorang kawan berkata, “Enak ya hidup jadi Nia Ramadhani? Apa-apa bisa kebeli.” Ya, ini dikarenakan bias kita. Padahal, orang kaya sekali pun memiliki masalah yang tidak terhindari. Begitu juga dengan perempuan yang cantik. Dengan media sosial, kita merasa rendah diri karena tak seputih dan secantik perempuan lain. Memang apa masalahnya?
Membandingkan diri kita dengan orang lain adalah racun karena banyak alasan, tetapi salah satu yang paling merusak adalah bersinggungan dengan harga diri kita. Kita merasa “kurang dari” ketika kita membandingkan, kita merasa kita tidak cukup baik, dan entah bagaimana kita perlu melakukan yang lebih baik. Ini adalah tempat yang mengerikan. Tempat yang mengarah pada depresi dan kecemasan.