Kontemplasi

Kenapa Tidak Mampu Meneladani

Ardi Kafha
×

Kenapa Tidak Mampu Meneladani

Sebarkan artikel ini
Tidak Mampu Meneladani
Ilustrasi foto: Pexels.com/Kaique Rocha

KEAGUNGAN Rasulullah Muhammad Saw. bahwa justru beliau adalah manusia, sama halnya dengan kita semua.

Beliau dilahirkan sebagaimana lazimnya semua manusia dilahirkan, lalu melewati masa kanak-kanak dan remaja. Beliau pun menikah, dan merasakan seperti yang dirasakan semua orang berupa kesedihan dan kegembiraan.

Beliau sedih tatkala kehilangan istri dan anak. Atau saat belia, beliau merasa sedih seperti kesedihan yang dirasakan anak-anak yatim.

Beliau juga merasakan kemenangan pada Perang Badar dan Fathu Makkah, pun merasakan kekalahan pada Perang Uhud.

Sungguh, justru itulah kebesaran Rasulullah Saw. Sekali lagi merupakan kebesaran seorang Rasul karena beliau itu manusia. Ayat-ayat Al-Quran menyebutkannya di lebih dari satu tempat, tiada lain supaya umat bisa bersikap seperti beliau dan meneladaninya.

Bayangkan, bagaimana kita bisa meniru sekiranya nabi umat Islam itu malaikat! Sungguh mustahil diteladani, bukan. Sehingga, sangat jelas, keagungan seorang Muhammad Saw. lantaran beliau bukan malaikat, juga tidak seperti Isa as yang lahir tanpa bapak.

Keluarbiasaan nabi terakhir itu karena beliau pun sosok wajar sewajar-wajarnya, yang terdiri atas daging dan darah. Dan terutama bisa diteladani. Maka, pertanyaan ke kita, mengapa kita tidak mampu meneladani beliau?

Kita telisik Perang Uhud misalnya, yaitu ketika kekalahan hampir menimpa kaum mukmin, yang dalam peperangan tersebut mereka lari saat dikejutkan oleh pasukan kuda Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid.

Banyak yang mati syahid di kalangan kaum muslim. Rasulullah Saw. saat itu pun terluka parah. Pipi dan bibirnya mengalirkan darah. Beliau jatuh ke dalam lubang sehingga lututnya terluka dan berdarah.

Namun, Allah menolong orang-orang Madinah pada hari yang sangat kritis itu berkat ketabahan Muhammad Saw. dalam medan laga.

Kita mesti bisa meneladani betapa komitmen beliau untuk berperang di luar kota Madinah, tidak mundur dari medan peperangan. Berbeda dengan Abdullah bin Ubay bersama 300 pasukan menarik diri sebelum tiba di Uhud.

Komitmen itu pula yang beliau tunjukkan tatkala beliau ke Thaif, komitmen untuk pantang bosan menyebarkan risalah ke segenap manusia. Padahal, kalau kita renungkan secara mendalam, kita akan mengetahui bahwa apa yang diderita Muhammad Saw. dari perjalanan menuju Thaif lebih berat dibanding penderitaan yang beliau terima dari penduduk Thaif.

Dari catatan sirah yang ditulis Dr. Husain Mu’nis, perjalanan Makkah ke Thaif menempuh jarak 140 km. Negeri Makkah terletak pada ketinggian antara 1.700 m sampai 2.500 m. Dan perjalanan dari Makkah menuju Thaif mulai menanjak setelah menempuh setengah perjalanan.

Dan tanjakan itulah yang berat karena berupa bukit-bukit tinggi dan sulit. Jalan-jalannya sempit berbatu, kaki tidak bisa istirahat. Orang yang berjalan kaki menggunakan sepatu saja sama sekali tidak bisa terhindar dari luka, goresan, dan keselo.

Padahal beliau murni berjalan kaki, tidak mengendarai unta atau kuda. Beliau ditemani Zaid bin Haritsah. Beliau memikul karung di pundaknya yang berisi kurma dan wadah yang dipenuhi air.

Sungguh, beliau berjalan kaki mendaki gunung dengan berbekal iman sebagai bekal pokok mendapat rida Allah, sedangkan bekal dunia beliau hanyalah kurma dan air.