Scroll untuk baca artikel
Blog

Keraton Solo Kembali Memanas, Begini Sejarah Konfliknya Sejak 2004

Redaksi
×

Keraton Solo Kembali Memanas, Begini Sejarah Konfliknya Sejak 2004

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Konflik Keraton Kasunanan Surakarta kembali memanas. Kali ini terjadi keributan di dalam Keraton Solo antara Lembaga Dewan Adat (LDA) pimpinan GKR Koes Moertiyah atau akrab disapa Gusti Moeng dan keluarga Paku Buwono XIII (Hangabehi) Keraton Surakarta, pukul 23.00 WIB, Jumat (23/12/2022).

Dugaan penyebab konflik kali ini menyusul munculnya isu pencurian dan penganiayaan yang melibatkan pihak dalam keraton. Isu ini memicu rencana penutupan pintu Kamandungan, Jolotundo, dan pintu lainnya di Keraton Kasunanan Solo.

Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta, KRA Dani Nur Adiningrat mengatakan, penutupan pintu itu atas perintah dari Sinuhun Paku Buwono XIII.

KRA Dani Nur Adiningrat menyebut, sejumlah orang pun diperintahkan untuk menutup pintu dan berjaga.

“Tujuan kita untuk menurunkan tensi ancaman di Keraton, ternyata Abdi Dalam yang ditugaskan diserang, menggunakan alat-alat, ada yang menggunakan pentungan, dan sebagainya, sampai jatuh korban,” ujarnya dikutip dari detik.com.

Sementara itu, Putri kedua Sri Susuhunan Pakubuwana XIII, Gusti Raden Ayu (GRAy) Devi Lelyana Dewi, mengaku mengalami luka atas kejadian itu saat puluhan orang memaksa menutup akses pintu masuk Keraton Surakarta.

“Saya kaget tiba-tiba sekitar 50 orang mau masuk, mengunci pintu Kamandungan. Terus dicegah sama keponakan saya, dipukuli terus dan ditodong pistol,” kata Devi kepada wartawan, Sabtu (24/12/2022).

Sejarah Konflik Keraton Solo

Berikut kronologi sejarah perpecahan di Keraton Solo, dikutip dari berbagai sumber:

Konflik berawal dari perebutan tahta setelah PB XII mangkat pada 12 Juni 2004. Kala itu Sang Raja yang tak memiliki permaisuri tidak menunjuk putra mahkota. Akibatnya anak keturunan PB XII saling klaim sebagai pewaris tahta. Dua kubu saling mendeklarasikan diri sebagai raja Keraton Solo.

Mereka adalah Hangabehi yang kala itu didukung kerabat Keraton lainnya dan Tedjowulan. Hangabehi yang merupakan putra tertua dari selir ketiga PB XII mendeklarasikan diri sebagai PB XIII pada 31 Agutsus 2004.

Sedangkan Tedjowulan, yang juga putra PB XII namun dari selir yang berbeda, mendeklarasikan diri sebagai PB XIII pada 9 November 2004. Saat itu Tedjowulan masih aktif sebagai anggota TNI berpangkat Letkol (Inf). Sejak itulah, Keraton Solo mulai memiliki dua raja alias raja kembar. Kisruh Kraton Solo terus berlanjut meski kedua kubu sepakat berdamai.

Pada tahun 2012, Wali Kota Solo saat itu, Joko Widodo (Jokowi), dan anggota DPR Mooryati Sudibyo, mendamaikan dua kubu anak raja di Jakarta.

Hasilnya, Hangabehi dan Tedjowulan sepakat berdamai dan menandatangani akta rekonsiliasi. Hangabehi yang merupakan putra tertua PB XII tetap menjadi raja, sedangkan Tedjowulan menjadi mahapatih dengan gelar KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo) Panembahan Agung.

Meski sudah ada rekonsiliasi, kisruh Keraton Solo belum berakhir. Sejumlah keturunan PB XII menolak rekonsiliasi dan mendirikan Lembaga Dewan Adat Keraton.

Lembaga itu memberhentikan sang raja. Lembaga Dewan Adat Keraton Solo berpandangan selama memerintah, Hangabehi beberapa kali melakukan pelanggaran. Salah satu pelanggaran yang sempat jadi perhatian adalah raja tersebut tersangkut tindak pelecehan seksual.

Dewan Adat melarang raja dan pendukungnya memasuki keraton. Sejumlah pintu masuk raja menuju gedung utama Keraton Solo dikunci dan ditutup dengan pagar pembatas. Akibatnya, PB XIII Hangabehi yang sudah bersatu dengan Tedjowulan tak bisa bertahta di Sasana Sewaka Keraton Solo.

Lembaga Dewan Adat sendiri didukung oleh GKR Wandansari, GKRAy Koes Moertiyah, GKR Retno Dumilah, GKR Indriyah serta putri PB XIII, GKR Timur Rumbai Kusumadewayanti dan lainnya.