“Ekonomi yang bergantung pada ekosistem menghadapi pilihan; bayar sekarang dengan berinvestasi pada alam atau bayar nanti melalui biaya pinjaman lebih tinggi dan utangnya melonjak. Opsi bayar sekarang menghasilkan keuntungan jangka panjang bagi orang-orang, bisnis, dan alam”. Dr. Matt Burke (dosen senior di Universitas Sheffield Hallam)
BARISAN.CO – Sebuah penelitian terbaru dari Universitas Cambridge menemukan, kerusakan alam mendorong negara-negara tertentu menuju kebangkrutan.
Disebutkan, kerusakan alam mendorong penurunan peringkat kredit negara, krisis utang, dan melonjaknya biaya pinjaman. Para peneliti menambahkan, bangkrut dan gagal bayar utang berarti membuat pemerintah harus menaikkan pajak, memotong pengeluaran, atau meningkatkan inflansi. Itu semuanya akan paling merugikan bagi orang biasa.
Mengutip Study Finds, masalah sangat akut terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Para ekonom mengatakan, pemerintah harus membayar untuk melestarikan alam sekarang darupada menunggu dan menghadapi biaya yang jauh lebih tinggi nantinya.
Jika dunia melihat kehancuran ekosistem perikanan, produksi kayu tropis, dan penyerbukan liar seperti yang disimulasikan oleh Bank Dunia, maka setengah lebih dari 26 negara yang diteliti oleh tim bisa menghadapi penurunan peringkat kredit.
Dari 26 negara tersebut, penurunan peringkat akan meningkatkan pembayaran bunga tahunan atas utang hingga US$53 miliar per tahun. Itu sama dengan akan banyak negara bangkrut karena gagal membayar utang.
Saat ini, lembaga keuangan seperti Moody’s dan Standard & Poor’s menilai, risiko keungan sulit diukur, namun sebagian besar karena mengabaikan konsekuensi ekonomi dari bencana ekologis. Peneliti menyindiri, investor tidak dapat mengelola risiko secara efektif dan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dari perhitungan keuangan yang bisa merusak stabilitas pasar.
“Bukan hanya investor yang rugi. Risiko kedaulatan yang meningkat membuat pasar menuntut premi risiko lebih tinggi, yang berarti pemerintah dan pada akhirnya pembayar pajak membayar lebih untuk meminjam,” kata Dr. Matthew Agarwala dalam rilis universitas.
Para peneliti menjelaskan, ekosistem membuat ekonomi terus bergerak, dari lebah yang menyerbuki tanaman hingga tanaman mencegah banjir.
“Ekonomi yang bergantung pada ekosistem menghadapi pilihan; bayar sekarang dengan berinvestasi pada alam atau bayar nanti melalui biaya pinjaman lebih tinggi dan utangnya melonjak. Opsi bayar sekarang menghasilkan keuntungan jangka panjang bagi orang-orang, bisnis, dan alam,” ungkap rekan penulis studi, Dr. Matt Burke, dosen senior di Universitas Sheffield Hallam.
Setengah dari 26 negara yang diteliti akan menghadapi kebangkrutan, termasuk diantaranya India, Bangladesh, dan Indonesia bersama dengan miliaran bunga utang. Sementara Pakistan dan Madagaskar kemungkinan besar akan mengalami default jika terdampak runtuhnya ekosistem alam mendadak.
Rekan penulis Dr. Patrycja Klusak, peneliti terafiliasi di Cambridge’s Bennett Institute mengungkapkan, negara-negara berkembang telah terbebani oleh beban utang yang didorong Covid-19 dan melonjaknya harga sehingga hilangnya alam akan mendorong mereka lebih dekat ke tepi kebangkrutan.
“Ada kebutuhan mendesak untuk inovasi di pasar utang negara. Prioritasnya termasuk memasukkan sains ke dalam penilaian risiko berwawasan ke depan, dukungan langsung bagi negara berkembang menghindari default negara, dan menggunakan pasar utang dalam mendukung investasi konservasi,” ujar Patrycja.
Melindungi habitat alami disebut penting juga untuk menjaga stabilitas ekonomi makro. Mengingat besarnya risiko ekonomi, maka disarankan penyertaan alam ke dalam peringkat kredit negara harus dilakukan sesegera mungkin. [rif]