TINGKAT ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Ratio tercatat sebesar 0,384 pada Maret 2022. Angka ini meningkat dibandingkan dengan September 2021 yang sebesar 0,381. Masih lebih tinggi pula jika dibandingkan sebelum era pandemi.
Kondisi tersebut terungkap dalam rilis Badan Pusat Statistik (BPS) tentang tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia Maret 2022 pada Jumat (15/07/2022). Rilis tentang hal ini disampaikan oleh Kepala BPS Margo Yuwono, bersamaan dengan rilis tentang profil kemiskinan.
Dalam mengukur tingkat ketimpangan di Indonesia, BPS menggunakan data pengeluaran sebagai proksi pendapatan yang bersumber dari Survei ekonomi nasional (Susenas). Susenas dilaksanakan secara rutin pada bulan Maret dan September tiap tahunnya. Dan dipublikasi beberapa bulan berikutnya.
Gini Ratio adalah salah satu ukuran ketimpangan pengeluaran yang dihitung dan dipublikasi oleh BPS. Nilainya berkisar antara 0 (nol) dan 1 (satu). Nilai yang makin mendekati 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan yang semakin tinggi.
Sebagaimana tingkat kemiskinan, rasio gini meningkat saat pandemi covid-19. Dari 0,380 pada September 2019 menjadi 0,381 pada Maret 2020. Bertambah lagi menjadi 0,385 pada September 2020. Namun ketika tingkat kemiskinan bisa diturunkan perlahan, rasio gini malah meningkat kembali pada Maret 2022.
Peningkatan ketimpangan berdasar Gini Ratio terutama terjadi di wilayah perkotaan. Angkanya pada Maret 2022 tercatat sebesar 0,403. Jauh lebih tinggi dibanding September 2021 yang hanya sebesar 0,391.
Sementara itu, Gini Ratio di perdesaan pada Maret 2022 tercatat hanya sebesar 0,314. Sempat naik saat pandemi, dari 0,315 pada September 2019 menjadi Maret 2020 dan 0,319 pada September 2020. Selanjutnya cenderung menurun, dan sudah lebih rendah dibanding era sebelum pandemi.
BPS mengingatkan angka Gini Ratio secara nasional terus mengalami penurunan, sejak Maret 2016 sampai dengan September 2019. BPS menilai bahwa selama periode tersebut terjadi perbaikan pemerataan pengeluaran rumah tangga di Indonesia. Kenaikan lebih diakibatkan oleh dampak pandemi Covid-19.
Ekonom Awalil Rizky yang dihubungi oleh redaksi mengatakan bahwa ukuran ketimpangan ekonomi tidak hanya Gini Ratio. BPS sendiri berdasar data pengeluaran yang diperoleh dari Susenas memiliki beberapa indikator, seperti Indeks Theil dan Indeks L.
Dikatakannya pula bahwa rasio gini dapat dihitung berdasar berbagai jenis data, atau tidak hanya pengeluaran. Melainkan juga berdasar data pendapatan dan kekayaan. Sebagai contoh, Bank Dunia memublikasi rasio gini berbagai negara berdasar data pendapatan atau prakiraan data pendapatan. Sebagai contoh gini rasio berdasar data kekayaan yang dihitung dan dipublikasi oleh Credit Suisse, suatu lembaga keuangan terpandang di dunia.
Awalil berpendapat dari pencermatan atas berbagai indikator, sebenarnya belum terjadi perbaikan ketimpangan ekonomi selama era reformasi. Artinya tidak terkait dengan adanya dampak pandemi. Dia mengingatkan bahwa Gini ratio saja belum kembali pada sebelum dan awal era reformasi, yang sempat mencapai 0,356 (1996) dan 0,311 (1999).
Awalil menyampaikan pula kajian dari International Monetary Fund (IMF) tentang perkembangan Gini Ratio banyak negara berdasar data pengeluaran dan pendapatan selama kurun tahun 1990 sampai dengan tahun 2019. Selama kurun itu, nilainya bertambah 6,578 poin. Merupakan negara dengan peningkatan poin rasio tertinggi ke-9 dari 135 negara. Padahal, ada 73 negara mengalami justeru mengalaim penurunan rasio.