BARISAN.CO – Tujuan Suistainable Development Goals (SDGs) ke-8 adalah mendorong ekonomi inklusi dan berkelanjutan, kesempatan kerja produktif, serta pekerjaan layak untuk semua.
Dalam bahasa umumnya, pekerjaan layak yaitu pekerjaan yang dilakukan atas pilihan pribadi, memberikan penghasilan yang dapat memenuhi hidupnya secara layak dan berharkat, serta adanya jaminan keselatan fisik maupun psikologis.
Kenyataannya, di lapangan masih belum semua rakyat di Indonesia memiliki pekerjaan layak tersebut. Sebab, pada Februari 2021, BPS mencatat jumlah pekerja informal mencapai 78,14 juta jiwa.
Menurut UU Ketenagakerjaan, pekerja sektor informal yaitu orang yang bekerja tanpa relasi kerja berarti orang itu tidak memiliki perjanjian yang mengatur elemen-elemen kerja, upah, serta kekuasan.
Dalam webinar Partai Buruh sesi Ke-2 bertema Tantangan Ekonomi Politik 2022: Oligarki vs Kesejahteraan Kelas Pekerja, Ketua Urban Poor Consortium (UPC), Gugun Muhammad menyampaikan cara pandang masyarakat atau kebijakan pemerintah selama ini justru belum mengutamakan pekerja di sektor informal.
Menurut Gugun, hal itu bisa dilihat dari selama pandemi, dana pelindungan sosial yang dikucurkan oleh pemerintah hanya menjangkau kurang dari 20 persen pekerja informal atau hanya sekitar 12 juta jiwa.
“Jadi, dari sisi kontribusi atau penyerapan tenaga kerja sebenarnya terbesar di Indonesia, tapi dari sisi penanganan, politik anggaran, dan kebijakan ternyata tidak menempatkan sektor informal ini menjadi yang utama di Indonesia,” ungkap Gugun pada Kamis (6/1/2022).
Becak di Jakarta
Dia menceritakan di tahun 2018, UPC bersama dengan Serikat Becak Jakarta, Pemprov DKI Jakarta, dan Universitas Indonesia melakukan pendataan. Dari pendataan itu, jumlah tukang becak di yang tersebar di berbagai kotamadya di Jakarta mencapai 2.300 pekerja.
Gugun menuturkan dari tukang becak ini ada yang bekerja musiman. Jika musim menanam, mereka akan pulang ke kampung. Begitu juga saat musim panen. Namun, Gugun menyebut itu berlaku bagi mereka yang masih memiliki sedikit tanah di kampungnya untuk produksi. Sedangkan bagi yang tidak mempunyai tanah, mereka tinggal di Jakarta di atas becak atau warteg.
“Kerja sama dengan pemilik warteg sekaligus jagain wartegnya, jadi mereka ngga harus ngontrak. Tapi ada juga yang harus ngontrak dengan teman-temannya di satu petak kamar begitu dengan situasi yang sebenarnya tidak sangat layak begitu,” kata Gugun.
Bagi Gugun situasi di Jakarta juga cukup memprihatinkan. Sebab, sempat ada tukang becak yang meninggal di atas becaknya saat menunggu penumpang. Gugun menuturkan bukan karena pandemi juga, tetapi lebih banyak ada karena sakit tidak terobati dan makan juga tidak terpenuhi.
Becak dan Gubernur
Gugun menambahkan, di zaman Gubernur Sutiyoso, Fauzi Bowo bahkan Basuki Tjahaja Purnama, musuh tukang becak itu Gubernur karena mereka tukang gusur. Akan tetapi, setelah pergantian Gubernur, di tahun 2017 situasinya berubah.
Di bawah kepemimpinan Anies Rasyid Baswedan, tukan becak diberi izin beroperasi dengan syarat hanya di lingkungan permukiman, tidak keluar ke jalan protokol. Namun kenyataannya, masalah saat ini bukan bergelut pada kebijakan semata.
Dengan adanya perkembangan teknologi seperti ojek online, Gugun mengatakan jumlah penumpang sekarang menjadi jauh lebih sepi.
Gugun pun tidak serta-merta menyalahkan teman-teman ojek online. Berdasarkan cerita yang dia dapatkan, kisah mereka tak jauh lebih menyedihkan. Sayangnya, minimnya pilihan bagi pengemudi ojek online membuat mereka terpaksa bertahan.