Maka pada tanggal 2 Mei 1547 Pangeran Hadiwijaya memutuskan status Kota Semarang menjadi setingkat dengan kabupaten. Dimana tanggal tersebut merupakan hari senin pahing dan bertepatan dengan 12 Robiul Awal yang merupakan kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Sayangnya untuk meneladani kepemimpinannya perlu kajian mendalam. Namun bisa digali sesuai dengan karater orang pesisiran dan budaya Jawa. Mengapa demikian? Karena selama ini masyarakat mengetahui Ki Ageng Pandanaran sebagai seorang yang memiliki sifat angkuh, sombong, congkak,penumpuk harta, dan tentunya sifat kikir telah menyelimuti tokohnya.
Hal ini tidak terlepas kisah antara Sunan Kalijaga yang menyamar sebagai tukang rumput dengan Ki Ageng Pandanaran. Padahal dalam kisah, cerita, ataupun babad bawasanya Ki Ageng Pandanaran menjalankan pemerintahan dengan baik, kemajuan dibidang perdagangan dan keagamaan. Sehingga masyarakat menjadi makmur dan sentosa.
Bukan lantaran tidak meninggalkan jejak tertulis sebagaimana gurunya Sunan Kalijaga. Namun lebih dari itu, yakni mengapa Semarang diresmikan tanggal 2 Mei 1547 sebagai hari kelahiran Semarang.
Bawasanya ada pesan yang hendak disampaikan yakni tanggal tersebut merupakan bulan Maulid Nabi atau kelahiran Nabi Muhammad dan Sunan Kalijaga merupakan guru dari sang Bupati pencipta lagu lir-ilir yang memiliki relevansi kepemimpinan.
Kelahiran kota Semarang ada kandungan Kelahiran Nabi Muhammad dan Lir-Ilir yakni seorang pemimpin layaknya Nabi Muhammad sebagai cah angon atau pengembala, bawasanya seorang pemimpin adalah cah angon yakni menjadi pelayan bagi rakyat atau masyarakatnya.
Namun yang terjadi setelah Ki Ageng Pandanaran menjadi pelayan rakyat, sebagai seorang manusia biasa Ki Ageng Pandanaran timbul nafsu keduniaanya.
Sosok dan Visualisasinya
Ada hal ini tidak terlepas mengemukanya polemik patung Warak Ngendok yang ada di taman Jl. Pandanaran, yang tidak mensimbolkan Warak Ngendok asli ikon kota Semarang. Sebab di taman tersebut Warak Ngendok namun tidak ada Ndoknya atau telur, begitupun dengan wajah warak ngendok berwajah naga, yang mana seharusnya warak ngendok itu berwajah kambing.
Maka dimunculkan ide untuk mengganti patung warak ngendok dengan sosok pendiri kota Semarang yakni Ki Ageng Pandanaran.
Namun sayangnya belum diketahui sosoknya itu seperti apa, dan bagaimana bentuk visualisasi Ki Ageng Pandanaran sebab belum ada gambaran dokument wajah aslinya, tidak seperti gurunya Sunan Kalijaga yang memiliki visualisasi.
Hal tersebut menjadi tanda tanya besar, bagaimana sesungguhnya sosoknya dan visualisasinya? Mungkin salah satu alternatif untuk mekanisme akademik dan ilmiah yakni dengan menggelar sarasehan budaya, penelitian dan ragam ilmiah lainnya.