Scroll untuk baca artikel
Blog

Kisah Kecebong, Kampret dan Kadal Gurun

Redaksi
×

Kisah Kecebong, Kampret dan Kadal Gurun

Sebarkan artikel ini

Sepertinya, situasi dan kondisi demikian itu melahirkan generasi sekarang menjadi terbiasa dengan yang praktis dan instan. Logika yang terbentuk banyak mengadosi kecenderungan serba kalkulasi dan hitung-hitungan. Menjadi sangat pragmatis dan transaksional.

Semua diukur dengan seberapa besar harga dan keuntungannya, bukan seberapa penting nilai atau valuenya. Pada akhirnya cenderung menjadi generasi yang “profit oriented” semata dan anti sosial. Fenomena itu menyeruak ketika menjamurnya youtubers, tiktokers, gamers dll. di dunia internet. Anak muda terus larut mengejar pundi-pundi ekonomi melalui tayangan mengejar viewer dan subscriber.

Pergaulan sosial telah dibatasi dengan off line dan on line, demi efisiensi dan efektifitas waktu, jarak, tenaga dan tentu saja secara finansial.

Dualisme dan Fragmentasi

Tak terbantahkan, era berlimpahnya informasi juga menimbulkan banyak masalah disamping kebermanfaatannya. Seperti keberadaan manusia dan benda-benda atau seuatu lainnya yang memiliki dualisme. Akselerasi teknologi informartika dan digitalisasi sangat dominan memengaruhi pola hidup masyarakat.

Bahkan tidak kurang menjadi pola sekaligus instrumen strategis pada kehidupan rakyat, negara dan bangsa. Apa yang kemudian disebut sebagai perangkat cyber, juga ikut menjadi dasar dan relevan menentukan pengambilan kebijakan pemerintahan baik secara sosial politik, sosial budaya, sosial ekonomi maupun sosial hukum dan keamanan.

Penggunaan internet dan teknologi yang melekat di media sosial, sering menjadi bagian dari komunikasi massa, propaganda, tolok ukur dan sekaligus menjadi dasar menentukan keputusan-keputusan kekuasaan.

Hampir satu dekade, terutama di lima tahun terakhir ini. Wadah media sosial bukan hanya sekedar mengalami senyata-nyatanya dualisme. Secara empiris dan terus meningkat grafiknya, penggunaan internet khususnya media sosial terus mengalami distorsi. Selain menyebarnya konten pornografi, peredaran narkoba, transaksi seks bebas dan kriminalitas secara on line.

Media sosial juga ikut terpapar virus degradasi sosial dan disintegrasi bangsa. Selain menyalurkan hasrat permusuhan dan kebencian, agitasi hoax dan fitnah juga ikut bertumbuh-kembang semakin subur.

Media sosial khususnya dan pemberdayaan internet secara masif juga mengalami fragmentasi sosial. Dunia keberadaban dan kebiadaban bercampur dan sulit dipisahkan. Etika dan norma berjibaku dengan bermacam penghinaan, pelecehan dan penistaan. Para buzzer, influencer dan haters tumpah-ruah menjadi pesakitan.

Dunia binatang dalam cerita atau dongeng fabel dan dengan dinamika kemanusian berkumpul menjadi satu dalam ruang sosial publik. Tak bisa dibedakan mana yang binatang dan mana yang manusia. Semua itu terlihat dari identifikasi dan penyebutannya. Ada Kodok atau Katak atau Kecebong, ada juga Kalelawar atau Kampret dan Kadal Gurun, serta semua istilah-istilah binatang yang tidak lagi tabu dan serba permisif dilekatkan pada manusia.