Scroll untuk baca artikel
Opini

Korupsi, Kemiskinan  dan Amil Zakat

Redaksi
×

Korupsi, Kemiskinan  dan Amil Zakat

Sebarkan artikel ini

APAKAH korupsi disebabkan oleh kemiskinan ataukah sebaliknya kemiskinan disebabkan oleh korupsi?  Begitulah kira-kira pertanyaan yang ada di dalam benak kita.  Dan jawabannya adalah bahwa keduanya sama-sama benar. 

Kemiskinan yang menyebabkan korupsi biasanya oleh para ahli disebut dengan petty corruption atau korupsi kelas teri, yakni praktek korupsi yang dilakukan oleh pegawai rendahan yang memiliki akses dan peran menentukan atas lancar atau tidaknya pelayanan publik.

Akibat korupsi ini, kerugian yang dialami oleh negara tidak dirasakan secara langsun.  Demikian juga dengan jumlah kuantitasnya dapat dikatakan tidak terlalu besar. Yang jelas, petty corruption berdampak negatif pada kualitas pelayanan publik.

Masyarakat langsung merasakan sendiri dampaknya, yakni buruknya kualitas pelayanan yang diberikan aparat.  Raktyat dipaksa mengeluarkan uang lebih untuk membeli pelayanan publik yang seharusnya ia terima secara Cuma-Cuma.  Hal ini berarti mengurangi nominal pendapatan yang diperoleh oleh rakyat. 

Jika semua pelayanan publik harus ‘dibeli ‘ ujung-ujungnya adalah terjadinya proses pemiskinan secara tidak langsung.

Motif korupsi jenis ini sangat sederhana, yakni bagaimana meningkatkan taraf ekonomi diri dan keluarganya. Benar kata Robert Klitgaard bahwa korupsi akanselalu terjadi jika hasil dari korupsi yang dilakukan jauh lebih tinggi dari insentif yang diterima sebagai pegawai birokrasi. 

Dalam kasus korupsi kecil ini berlaku rumusan defense mechanism, yakni mekanisme pertahanan diri agar tidak jatuh ke jurang kemiskinan absolut. Orang melakukan korupsi dalam lingkup ini secara penuh disebabkan oleh tidak mencukupinya kebutuhan hidup sehari-hari jika mengandalkan penerimaan gaji semata.

Dengan demikian, usul untuk menaikkan gaji pegawai agar tidak terjadi praktek korupsi sebenarnya hanya berdampak pada lingkup petty corruption saja termasuk rakyat penerima jasa layanan publik.

Jika kebijakan menaikkan gaji itu memang benar-benar hendak berjalan efektif untuk meminimalisasi praktek korupsi di tubuh birokrasi, perlu disertai usaha perampingan postur birokrasi kita yang sudah tergolong obesitas.

Perampingan dilakukan agar tidak terjadi pembengkakan beban anggaran hanya untuk membiayai kegiatan rutin pemerintah.  Dengan demikian justru malah mengurangi biaya publik atau pembangunan.  Padahal anggaran pembangunan itulah yang justru berdampak langsung pada pengentasan kemiskinan.

Hal lain yang harus dilakukan oleh negara adalah menyusun kebijakan agar tidak terjadi kenaikan standard kesejahteraan yang tidak dapat diimbangi oleh kenaikan gaji akibat mekanisme pasar yang liar.  Negara tidak boleh menyerahkan kesejahteraan rakyatnya pada mekanisme pasar.

Sedangkan grand corruption atau korupsi kelas kakap selalu merujuk pada praktek korupsi yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang yang memiliki akses kepada kekuasaan terhadap sumber-sumber daya ekonomi negara.

Motifnya pun bukan karena ingin memperbaiki taraf hidupnya, melainkan jauh lebih tinggi, yakni bagaimana mempertahankan kekuasaan dan membuat sebuah kebijakan yang hanya berpihak dan menguntungkan diri atau kelompoknya saja. 

Korupsi jenis ini selain mengambil uang negara secara langsung, mereka  juga meproduksi berbagai macam kebijakan publik untuk memperkaya diri sendiri termasuk kelompoknya.  Kebijakan yang disusun termasuk melindungi dan mengamankan kekuasaannya agar tidak dirong-rong.  

Kebijakan yang demikian itu pastilah akan menghambat kebebasan masyarakat untuk mengakses sumber-sumber penghidupan.  Bahkan pada skala tertentu kebijakan tersebut dapat mengambil harta benda yang telah dimiliki oleh rakyatnya sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung.  Selama tahun 2022 tidak kurang dari 1400 orang telah berhasil dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).