Scroll untuk baca artikel
Blog

Kritik Bicara: Jin Buang Anak

Redaksi
×

Kritik Bicara: Jin Buang Anak

Sebarkan artikel ini

Area guna pembangunan IKN baru itu adalah: tempat jin buang anak. Satu kalimat ‘keseharian’ yang biasa digunakan masyarakat kita untuk menunjuk satu tempat yang dianggap mengandung misteri tertentu.

WARTAWAN senior’ Edy Mulyadi, dalam pertemuan satu organisasi sosial, mengkritisi pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru. Satu rencana pemindahan IKN, yang sedang dalam proses pembangunan di Kalimantan.

Ada satu kalimat Edy yang membuat ketersinggungan masyarakat/suku di Kalimantan. Bahwa dikatakan, area guna pembangunan IKN baru itu adalah: tempat jin buang anak. Satu kalimat ‘keseharian’ yang biasa digunakan masyarakat kita untuk menunjuk satu tempat yang dianggap mengandung misteri tertentu.

Sebagai pertanyaan awal, apakah itu kritik. Kritik adalah satu subyektivasi masukan pikiran atau pendapat – bersifat khas -tentang suatu hal. Tentu meski bersifat subyektif dan khas, kritik mesti dilandasi sumber/data atau alasan kuat sebagai pendukung wacana kritik tersebut.

Dalam dunia modern di ranah politik kebudayaan, kritik menjadi lazim bahkan menjadi wacana keilmuan tersendiri. Sebagai karya tulis yang dipublikasikan, ia bisa berupa opini atau karangan khas. Sedangkan penulisnya disebut kritikus atau pengamat.

Kritik yang tidak didasari persyaratan ‘intelektual’ itu tidak bisa disebut kritik. Ini kerap terjadi, terutama dalam pembicaraan lisan yang tidak ada kerja kontrol/sensor keredaksionalan.

Sesuatu yang subyektif dan khas (subyektivasi) lantaran karena lepas kontrol akan terjadi apa yang disebut hoax. Maka lontaran tersebut, bukan lagi sebagai kritik, tapi lebih bersifat cemooh-(an) atau yang populer disebut hoax itu.

Termasuk lontaran Edy, yang langsung menuding pemerintah. Bahwa, pembangunan IKN di Kalimantan itu dikatakan sebagai proyek untuk bisnis orang-orang China. Ini pun perlu dipertanyakan mengenai kebenarannya secara data dan sumber yang bisa dipercaya.

Sumber yang bisa digunakan, misalnya, satu acara Mata Najwa, hasil investigasi Najwa Shihab. Ialah satu wacana, bagaimana nanti ‘nasib’ kelestarian masyarakat/suku yang ada, dengan berdirinya pusat pemerintahan.

Atau sebutlah, dari argumen memberati, tentang penunjukan Ahok Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon gubernur IKN yang direncanakan bernama Nusantara. Walau ini akan berbenturan dengan soal rasialis, tapi sebagai sumber info bisa dipakai.

Beberapa pihak sudah melaporkan Edy ke Kepolisian. Juga dia telah menangguk gelombang protes bahkan demo. Tak terkecuali bunyi protes yang mengaitkan Edy sebagai kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Bunyi protes yang tidak hanya: seret Edy Mulyadi ke Pengadilan. Tapi juga seruan: bubarkan PKS!

Demikianlah, kritik yang jatuh menjadi sekadar cemoohan atau hoax – dengan pasal ujaran kebencian – akan berbuntut panjang, dari personae pribadi hingga ke ranah politik. [Luk]

Kolom

Nusantara dari Sabang sampai Merauke di era Soekarno