Paket Ekonomi 2025 senilai Rp16,23 triliun digadang-gadang sebagai jawaban atas tantangan daya beli, pengangguran, dan kemiskinan.
PEMERINTAH melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada 15 September 2025 mengumumkan paket ekonomi terbaru yang diberi nama 8 Program Akselerasi Ekonomi 2025.
Program ini mengucurkan dana sebesar Rp16,23 triliun hingga akhir tahun. Rinciannya mencakup program magang untuk lulusan perguruan tinggi, perluasan insentif pajak penghasilan (PPh) 21 ditanggung pemerintah, bantuan pangan, subsidi iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja informal, relaksasi bunga perumahan, program padat karya tunai, percepatan deregulasi, dan program perkotaan berbasis UMKM dan gig economy.
Secara garis besar, program ini dimaksudkan untuk memberikan stimulus cepat terhadap daya beli masyarakat dan memperluas kesempatan kerja.
Namun, jika dicermati lebih dalam, terdapat sejumlah persoalan mendasar yang perlu dikritisi, baik dari sisi efektivitas maupun keberlanjutan fiskal.
Paket ekonomi ini hadir pada situasi ketika ekonomi Indonesia menghadapi tekanan berat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa penduduk kelas menengah anjlok drastis 16,5% atau berkurang 9,48 juta orang dari 57,33 juta jiwa pada 2019 menjadi hanya 47,85 juta jiwa pada 2024.
Penurunan ini menandakan daya beli masyarakat melemah, diperparah dengan kenaikan harga barang pokok, pendapatan riil yang stagnan, serta beban pajak yang makin besar.
Di sisi lain, bonus demografi yang diharapkan menjadi kekuatan justru berpotensi menjadi musibah. Sakernas Februari 2025 mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) di kelompok usia muda 15–24 tahun masih tinggi, yakni 16%.
Artinya, dari setiap 100 anak muda yang masuk angkatan kerja, ada 16 orang yang menganggur. Secara keseluruhan, pengangguran terbuka nasional mencapai 4,76% dari 153,05 juta angkatan kerja atau sekitar 7,26 juta jiwa.
Yang lebih mengkhawatirkan, pengangguran terdidik masih mendominasi. TPT lulusan SMK mencapai 8%, SMA 6,35%, sementara lulusan perguruan tinggi (D4, S1, S2, S3) sebesar 6,23%.
Angka ini menunjukkan ketidaksinkronan antara dunia pendidikan dengan pasar kerja. Maka, meski program magang dengan uang saku Rp3,3 juta bagi fresh graduate terdengar menjanjikan, efektivitasnya untuk menyelesaikan akar masalah pengangguran terdidik patut dipertanyakan.
Beban Fiskal yang Kian Berat
Kritik utama terhadap paket ekonomi ini adalah masalah beban fiskal. Pemerintah harus menyediakan Rp16,23 triliun dalam waktu singkat, sementara APBN sudah terbebani utang yang sangat besar.
Pada 2024, pemerintah mengalokasikan Rp500 triliun untuk pembayaran utang, dan pada 2025 melonjak menjadi Rp800 triliun.









