Perlakuan pemerintah pada kasus Tom Lembong yang mencolok dipaksakan dan ceroboh dalam tinjauan kaidah hukum, semakin membuktikan rusak dan hancurnya tata kelola negara Indonesia secara komprehensif selama ini.
Praktek-Praktek jual beli hukum, perkara hukum yang bisa dipesan dan Siapa yang kuat (uang, pengaruh dan kekuasaan) yang mengendalikan hukum. Data dan fakta dunia peradilan Indonesia yang demikian, saat ini tak lagi bisa terbantahkan dan menjadi rahasia umum.
Namun, betapapun kekuasaan rezim begitu kuat dan tampak tak bisa dirobohkan. Seperti peribahasa di atas langit masih ada langit, ada kekuasaan Tuhan yang mulai menegur dan menghukum setiap tindakan manusia yang dzolim dan melampaui batas.
Kebobrokan rezim terus terkuak, beruntun dan terbongkar karena perilaku aparatur yang menyimpang baik secara personal maupun kolektif. Sistem dan struktur pemerintahan kian menunjukan kebuntuan dan kegagalan.
Dalam rekayasa kasus Tom Lembong ada “blessing” sendirinya yang membuat gugurnya stigma radikalisme, fundamentalisme dan terorisme yang selama ini dituding rezim dan lekat pada kalangan oposisi dan gerakan kritis.
Proxy rezim berupa isu-isu sektarianisme, primordialisme dan intoleransi yang selama ini menjadi senjata ampuh rezim dalam menghadapi kritik yang dianggap mengancam kekuasaannya, mulai rontok dari kasus Tom Lembong.
Selain aspek manipulasi hukum, ada tendensi politik yang masif dalam mendiskreditkan figur Anies yang dianggap beririsan dengan Tom Lembong.
Dari pelbagai lingkaran Anies yang potensial yang terus diupayakan kriminalsasinya, justru menaikan kasus Tom Lembong menjadi keniscayaan sekaligus pertaruhan kekuasan rezim. Tom Lembong hanya sasaran antara, bagi rezim Anies yang menjadi sasaran ideal.
Sayangnya, rezim abai dengan menargetkan Tom Lembong, profil Tom Lembong dan rekayasa hukumnya cenderung dapat menjadi bumerang bagi rezim.
Rezim seperti sedang mendeklarasikan, kalangan oposisi dan gerakan kritis itu tidak lahir sekonyong-konyong hanya dari kalangan Arab, Yaman dan negara-negara Timur Tengah lainnya yang oleh buzzernya disebut sebagai Kadrun, Unta dll. yang sering dilontarkan para ternak dan buzzer bayaran pemerintah.
Komunitas suku dan negara leluhur itu yang biasa diframing kekuasan ingin menggantikan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, seakan ditepis mitosnya dengan munculnya kriminalisasi Tom Lembong yang seorang kristian dan keturunan Tionghoa serta jejaring internasionalnya.
Setidaknya, menjadi “breaking ice” bagi stereotif seorang Anies Baswedan oleh rezim selama ini. Momentum yang terjadi selain solideritas dan konsolidasi, bagi Anies Baswedan hikmahnya berupa refresh sebagai pemimpin nasionalis dan internasionalis yang berkarakter universal, egaliter dan berkeadilan.