“BAJIROET !” umpat Paijo sambil membanting koran yang barusan dibacanya. Mendengar umpatan Paijo, para pengunjung warung Kopi Yu Paijem hanya bisa saling pandang tak mengerti oleh kelakuan Paijo yang tiba-tiba marah-marah tak tahu juntrungnya tersebut. Umpatan Paijo tersebut selain membuat kaget juga membuat penasaran seluruh pengunjung warung malam itu.
“Ada apa tho Jo ?” tanya dulkamndi sambil menarik koran yang barusan dibaca Paijo. Satu persatu kolom-kolom yang tersaji di koran tersebut ia eja. Menurut lelaki penarik becak motor itu tak satu katapun di koran tersebut yang patut dicurigai membuat pembacanya geram.
“Kopine Yu !” pinta Paijo pada Yu Paijem seolah tak menggubris pertanyaan Dulkamndi serta rasa penasaran para pengunjung warung yang lain.
“Dasar wedhus budheg !” umpat Dulkamndi sembari memukulkan gulungan koran ke punggung Paijo. Penarik becak motor itu sepertinya sangat jengkel menaggapi ulah Paijo yang tak menggubris pertanyaannya sama sekali. Paijo hanya tersenyum ke arah Dulkamndi sambil menikmati kopi pesanannya. Tak sedikitpun ia marah dengan sebutan wedhus budhek yang dialamatkan kepadanya.
“”Reformasi itu khan maunya ingin memperbaiki tatanan berbangsa dan bernegara kita! Eh kok malah sekarang ini polisi jadi mafia. Hakin doyan korupsi. Utang negara menggunung. Lha kok tambah semakin ajur mumur ki piye tho!”
lagi-lagi Paijo meracau bagai orang kesurupan. Tak ada hujan tak ada badai tiba-tiba saja Paijo memperkarakan orde reformasi yang sudah berjalan selama dua dasa warsa ini. Mendengar perkataan Paijo yang seperti bocah kurang waras tersebut, Dulkamdi segera meraba jidat Paijo dengan punggung tangannya. Melihat ulah Dulkamdi tersebut, spontan pengunjung warung tertawa terbahak-bahak.
“Gudhel goblok! Aku ora nembe kesurupan ngerti ora!” jawab Paijo sambil mengibaskan tangan Dulkamdi. Disebut sebagai Gudhel goblok, Dulkamdi justru tertawa terbahak-bahak.
“Kita ini wong cilik Jo! Mana tahu urusan begituan?” sahut Parmin sambil mencomot tempe goreng yang barusan ditumplek ke piring saji. Aromanya yang gurih segera menggelitik nafsu makan para pengunjung warung. Satu per satu tangan-tangan itu mulai mencomot tempe goreng yang panasnya 11 12 dengan bara api tungku penggorengan warung Yu Paijem. Namun begitu mereka seperti tak peduli. Santai saja mereka melahapnya meski harus ditiup-tiup dahulu sebelum dikunyah. Mungkin itulah seninya makan tempe panas.
“Eh tahu tidak kalau Mbok Sarmi punya kendil ajaib?” sela Kandar sambil menyulut rokok kreteknya. Sejurus kemudian lelaki penarik traktor sawah itu sudah asyik bermain-main dengan asap rokok kretek yang dihembuskannya. Kadangkala ia seperti membuat bentuk lingkaran-lingkaran. Kadang kala pula ia membentuk gulungan-gulungan asap.
“Kendil ajaib apa maksudmu?” tanya Paijo penasaran. Kini lelaki itu yang ganti dibuat penasaran oleh perkataan kandar.
“Ketinggalan info rupanya sampeyan,” seloroh Kandar tanpa sedikitpun menoleh kepada Paijo. Ia masih saja asyik bermain-main dengan kepulan asap rokok kreteknya.
“Betul Kang! Kemarin aku benar-benar menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Kendil itu dapat memperlihatkan sosok pencuri yang telah mengambil kalung milik Bu Guru Sri,” sambung Parmin sekali lagi tanpa sedikitpun melepaskan batang rokok dari bibir mulutnya yang ndomble itu.
Memang sejak Mbok Sarmi menemukan kendil itu di tepi sungai, kampung kecil di pinggiran kali itu heboh dibuatnya. Menurut Parmin, kendil itu ditemukan tak sengaja tatkala Mbok Sarmi hendak mencuci baju di pancuran pinggir kali. Karena tidak ada yang merasa memiliki, akhirnya kendil itu pun ia bawa pulang. Sesampai di rumah kendil itu ia isi air. Rencananya akan ia gunakan untuk ngliwet nasi.