Meski menghadapi tantangan digitalisasi, inklusi keuangan, dan implementasi ESG, sektor perbankan nasional tetap menunjukkan ketahanan dan optimisme ke depan.
BARISAN.CO – Di tengah tekanan pelemahan konsumsi dan perlambatan ekonomi nasional, sektor perbankan Indonesia tetap menunjukkan ketangguhannya.
Data dari laporan PRIME 2025 yang dirilis oleh Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) mengungkapkan bahwa kinerja perbankan pada 2023 berhasil mencatatkan pertumbuhan yang stabil dan berkelanjutan, menjadi tumpuan penting dalam menjaga keseimbangan ekonomi di tahun 2025 yang penuh tantangan.
Memasuki paruh kedua tahun 2025, perekonomian Indonesia dibayangi oleh lemahnya konsumsi rumah tangga akibat turunnya daya beli, khususnya di kelas menengah bawah.
Inflasi yang sangat rendah (<2%) memang menandakan stabilitas harga, tetapi juga mengindikasikan potensi deflasi dan stagnasi permintaan.
Sektor industri pengolahan dan perdagangan yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional justru mencatat pertumbuhan yang melambat.
Dunia usaha menjadi lebih selektif dalam ekspansi. Dalam situasi seperti ini, perbankan dituntut untuk menjadi jangkar stabilitas, bukan hanya penyedia kredit, tapi juga penyeimbang psikologis bagi pasar dan pelaku usaha.
Di tengah tekanan tersebut, sektor perbankan mampu menyalurkan kredit dengan pertumbuhan 10,38% secara tahunan (yoy) hingga akhir 2023.
Pertumbuhan ini sangat berarti mengingat suku bunga acuan Bank Indonesia masih berada di angka tinggi, yakni 6% sepanjang 2023 sebelum mulai diturunkan secara bertahap di pertengahan 2025.
Peningkatan kredit tertinggi terjadi pada sektor investasi (12,28% yoy), menunjukkan masih adanya optimisme dunia usaha untuk ekspansi jangka panjang.
Kredit modal kerja juga tumbuh 10,56%, sementara kredit konsumsi yang lebih sensitif terhadap daya beli tumbuh relatif moderat di angka 8,35%.
Dalam iklim ketidakpastian, kemampuan bank menjaga kualitas kredit menjadi penentu utama kesehatan sektor keuangan.
Hingga akhir 2023, rasio Non-Performing Loan (NPL) gross tercatat sebesar 2,23%, dan NPL net berada pada 0,77%. Ini mencerminkan efektivitas pengelolaan risiko oleh perbankan, serta dampak positif dari program restrukturisasi yang diterapkan saat pandemi.
Namun demikian, dengan telah berakhirnya kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit pada Maret 2024, tantangan baru muncul.
Banyak bank kini memperketat syarat kredit dan memperkuat sistem pemeringkatan risiko, agar tidak terseret potensi gagal bayar dari debitur pascarestrukturisasi.
Likuiditas perbankan juga terjaga di level yang aman, dengan rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) mencapai 27,55%, jauh di atas batas minimum 10%. Kondisi ini memberi ruang bagi bank untuk tetap fleksibel menghadapi tekanan pasar.