Oleh: Tatak Ujiyati
Barisan.co – Djoko Tjandra buronan Kejaksaan Agung diketahui mengurus E-KTP di Kelurahan Grogol Selatan. Ada yang menyarankan agar Gubernur DKI Jakarta memecat lurahnya. Sebenarnya kejadian lolosnya Djoko ini salah siapa?
Hal ini merupakan kesalahan sistem, yang tidak mampu mengintegrasikan data buron dari penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, KPK RI) dengan data Penduduk dan Catatan Sipip (Dukcapil) yang dikelola Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Tanpa integrasi data dan sistem maka tidak ada tanda atau peringatan atau penolakan dari sistem ketika seorang buron akan mengurus KTP. Sehingga kejadianlah kasus Djoko Tjandra ini, lolos mengurus E-KTP. Karena sistem yang lemah maka bisa diduga ada kasus-kasus lain serupa, di Kelurahan manapun di seluruh Indonesia, buron lolos membuat E-KTP. Lha wong nggak ada sistem penangkalnya kan?
Tanpa adanya integrasi sistem, apakah mungkin seorang Djoko Tjandra ditolak mengurus KTP? Tidak mungkin sebab tak ada aturan atau prosedur penolakannya. Prosedur Dukcapil cuma satu, sepanjang data kependudukan sudah terekam maka siapapun warga bisa mengurus atau mencetak E-KTP.
Tanpa red notice, apakah kita bisa mengharap petugas kelurahan otomatis tahu bahwa Djoko Tjandra adalah seorang buron? Tidak mungkin karena tugas yang diberikan kepada Pemda (dalam hal ini petugas Dukcapil) adalah memberi pelayanan kependudukan, bukan menegakkan hukum dengan menangkap buron kriminal.
Bahkan untuk institusi yang sudah terintegrasi seperti Kantor Imigrasi saja, buron juga tak bisa dicegah ke luar negeri atau masuk ke Indonesia jika tanpa didahului dengan adanya red notice dari institusi penegak hukum. Prosedur birokrasinya memang begitu. Penegak hukum yang bertanggung jawab atas buron kriminal, yang harus mencari dan menangkap. Mereka bisa meminta bantuan ke institusi-institusi lain dengan mengirim surat cekal. Tanpa surat cekal atau red notice maka prosedur akan berjalan seperti biasa.
Maka dari latar belakang itu, agak sulit untuk menyalahkan seorang Lurah atas lolosnya Djoko Tjandra ini. Apalagi menurut keterangannya Djoko Tjandra sebenarnya bukan diantar oleh Lurah. Tapi hanya diterima oleh petugas PJLP yang tidak mengenal statusnya sebagai buronan Kejaksaan Agung sehingga dilayani seperti warga biasa pada umumnya.
Soal proses pembuatan KTP yang cepat juga sulit untuk dikatakan sebagai keanehan/irregularity. Pasalnya saat ini pengurusan KTP di DKI Jakarta memang bisa sangat cepat (tak seperti sebelumnya) karena blangko dari Kemendagri telah tersedia dalam jumlah banyak.
Tanpa bukti pelanggaran prosedur, tanpa bukti menerima suap, Pemprov DKI Jakarta tak bisa memecat Lurah. Ia tak melakukan kesalahan.
Bagaimana kalau seorang Kepala Daerah memaksa tetap mau memecat? Agak sulit bagi Kepala Daerah bertindak seenaknya sendiri, sebab ada aturan, ada ketentuan, ada prosedur yang harus diikuti sebelum mengambil setiap kebijakan. Jika nekad memecat tanpa bukti kesalahan dan tanpa prosesur? Seorang Kepala Daerah akan menghadapi konsekuensi. Yaitu bisa digugat ke pengadilan atau dilaporkan ke Komisi ASN.
Kembali lagi ke lolosnya Djoko Tjandra. Dimana akar masalah sebenarnya? Menurut saya ada di keseriusan penegak hukum (dalam hal ini Kejaksaan Agung) dalam memburunya. Upayanya belum maksimal sehingga Djoko Tjandra bisa masuk ke Indonesia. Apakah tak ada red notice ke imigrasi?
Apakah tak ada upaya kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri? Yang memungkinkan perbaikan sistem Dukcapil Kemendagri agar bisa dipakai mengidentifikasi buron kriminal? Mustinya sistem Dukcapil Kemendagri bisa terintegrasi dengan data buron dari penegak hukum. Sehingga ke depannya, sistem akan dapat mencegah buron-buron lain mencetak E-KTP. Atau lebih jauh lagi petugas kelurahan dapat membantu penegak hukum dengan menginformasikan lokasi buron.