SIANG menggelap oleh mendung di langit Semarang, ketika Sanu turun dari kereta api. Ia ingin segera bertemu Santi, setelah lima jam perjalanan dari Jakarta. Melalui WA, teman chatingnya itu berjanji akan menjemputnya di pintu keluar stasiun.
Ia memilih mengalah dari ratusan penumpang, di akhir bondongan. Tak banyak yang ia bawa, kecuali tas ransel, terutama seamplop besar uang yang terselip di antara pakaian. Uang sejumlah seratus juta untuk pembayaran lukisan kuno karya pelukis legendaris.
Santi, seperti pengakuannya, bukan jenis orang yang punya fasilitas transfer banking. Ini agak aneh, pikir Sanu, atau itu hanya alasan saja agar mereka bisa bertemu. Seorang wanita yang bekerja sebagaimana bidang Sanu, pemburu barang antik.
Usia Santi sepuluh tahun lebih tua dari Sanu yang telah menginjak empatpuluh tahun. Dari photo profilnya, Santi Martodipuro mirip bintang film 90-an Tuti Sadya.
Nama Martodipuro dipahami Sanu sebagai nama belakang yang dikesankan tua, yang biasa disandang oleh para pemburu barang antik bernilai sejarah.
Keluar dari gerbang, Sanu segera dihadapkan pada sosok yang lebih tinggi besar dari bayangannya. Santi tersenyum sambil menyalaminya, lalu mengajaknya menyusur jalan menuju parkir yang cukup jauh.
Sanu jadi merasa imut, berendeng setinggi bahu wanita yang mengaku janda beranak tiga itu.
Tanpa basa-basi Santi berkata, “kita ke hotel,” sambil menghidupkan mobilnya. Padahal sebelumnya Santi berjanji akan mengajak Sanu ke rumahnya, sekalian melihat lukisan itu.
Senyumnya masih tersungging sambil melirik Sanu, “tenang saja, saya kan sudah bilang, Sanu sudah saya anggap anak.”
BUKAN soal emak dan anak, pikir Sanu, tapi ini yang awal Santi menyalahi janji. Penasaran Sanu bertanya, “di mana lukisan itu?” Santi kontan menjawab, “ada saya bawa, di belakang.” Siang menggelap oleh mendung jadi basah oleh hujan cukup menderai.
Anehnya, Santi mau membawa Sanu ke hotel di pinggiran kota, “perjalanan kira-kira satu jam,” cetusnya. Setelah ngobrol penuh candatawa, Santi kemudian mengungkapkan awal kariernya sebagai pemburu barang antik dan lukisan kuno.
Dimulai sejak usia tigapuluh tahun, saat ia mengikuti lelang lukisan di balai lelang di Singapore. Sebelumnya ia mendapat info, ada lukisan seorang Raja Jawa karya Raden Saleh. Ikut di sesi lelang itu, dan memenangkan lelang di harga seratus juta rupiah.
Kembali dari Singapore ia menununjukkan lukisan itu pada kolektor yang mau membeli lukisan karya Raden Saleh itu. Alex Virgo si kolektor, temannya, juga seorang pelukis senior dan ahli dibidang seni lukis dengan referensi internasional.
Apa lacur, Alex bilang lukisan karya Raden Saleh itu palsu. “Bukan Raden Saleh yang kau perkirakan,” ujar Alex, “meski secara hukum ini tidak tergolong pemalsuan lukisan.” Santi terperangah, “bagaimana jelasnya?”
Alex pun menjelaskan, “tandatangannya memang R Saleh, serupa tandatangan Raden Saleh.” Santi belum juga mudeng atas penjelasan itu, “saya masih belum mengerti,” tukasnya. Lalu Alex menyatakan kebenaran yang ia ketahui, “lukisan Raja Jawa ini karya seorang pelukis yang memang bernama sama, R Saleh.”
Santi terhenyak, dan naluri pemburunya mulai menegasi. Ia memburu pelukis bernama kwas R Saleh itu di Jakarta. Penasaran Sanu bertanya, “ketemu?” dan Santi mengangguk dengan pandangan bagai menerawang jauh.
SAMPAI di satu hotel pinggiran kota, Santi memesan makanan dan minuman. “Kita makan dulu,” cetusnya sambil berkata, “ada cerita yang butuh enerji untuk mengungkapnya. Mereka kembali ngobrol ngalor-ngidul sembari bersantap, dan kali ini Sanu merasa ada emosi batin tersendiri dari nada bicara Santi.