Scroll untuk baca artikel
Kolom

Mahkota Runcing dan Mahkota Bulat

Redaksi
×

Mahkota Runcing dan Mahkota Bulat

Sebarkan artikel ini

DALAM mitologi Jawa, kita mengenal simbol mahkota runcing dan mahkota bulat. Yakni dari kitab Bramarawilasita Mataram Lama, kisah tentang perang saudara raja dan kerajaan Jayabaya kontra raja dan kerajaan Jayasaba. Menurut ahli sejarah, itu berdasar kitab Mahabharata dan Ramayana dari India.

Mahkota runcing dikenakan seratus Kurawa sebagai simbol raja dan kerajaan berwatak runcing: menikam hati, merobek pikiran, menusuk kalbu. Mahkota bulat dipakai lima Pandawa sebagai simbol raja dan kerajaan bersifat bulat: fokus hati, ramping pikiran, Istiqomah tawadhu alias beradab budaya.

Menilik kehidupan politikus dan politik — termasuk pengamat politik dan para buzzer — di negeri ini, tampaknya merekalah golongan atau kaum bermahkota runcing — untuk tidak serta-merta disebut seratus Kurawa (sebabnya seingat saya jumlahnya ribuan bahkan jutaan).

Menurut selentingan, peredaran uang terbesar di negeri ini ada di lingkaran atau lingkungan partai politik. Bisa dibayangkan, bagaimana kekuatan dan kekuasaan politik ekonomi (oligarchy) di negeri dengan sistem banyak partai ini.

Di zaman politik kebudayaan Soekarno, orang harus kaya dulu atau setidaknya mapan dulu, baru masuk partai — terutama — untuk menjadi pengurus partai. Di era politik ekonomi (yang ujungnya kapitalisme-liberalisme) Soeharto hingga era reformasi, ada sindiran: justru orang masuk partai politik untuk mencari uang.

Tidak bisa diditeksi secara jelas, bagaimana mekanisme peredaran uang itu di tingkat elite parpol. Yang gamblang, dalam setiap parpol ada sistem kaderisasi untuk menjadi anggota dewan (yang konon katanya wakil rakyat), kepala daerah hingga menteri. Dan pada kenyataannya banyak terjadi kasus korupsi milyaran bahkan triliunan di lingkungan atau lingkaran itu.

Sampai pada saat ini, KPK cukup menangkap sang koruptor, tapi tidak membuka secara sistemik-struktural mengapa maling-maling itu mencuri uang rakyat. Sehingga sampai pada saat ini rakya pun bertanya-tanya: apa yang terjadi di tubuh Komite Pemberantasan Korupsi.

Di badan para parpol itu sendiri pun acap dipertanyakan, mengapa dan bagaimana parpol. Yang ada hanya berkisar persoalan who’s who. Apa dan siapa mereka yang sebatas unjuk gigi demi karier politik di lingkaran kekuasaan ekonomi politik. Betapa mereka tidak mengimbaskan pendidikan politik ke tengah rakyat, tapi yang berlangsung sekadar tak-tik dan intrik politik.

Itulah sumber konflik politik yang berlangsung. Tak lebih hanya perang nyinyir, iri dengki dan kebencian. Atau dengan bahasa dunia pewayangan perang saudara antara raja dan kerajaan A hingga raja kerajaan Z. Bukan antara mahkota runcing Kurawa dengan mahkota bulat Pandawa, tetapi antara mahkota runcing dengan mahkota runcing, yang semata berujung pada korupsi: perang besar demi semata mencuri uang rakyat!

Rakyat pun setiap hari mencium bau amis darah busuk itu.***