Scroll untuk baca artikel
Kolom

Makna Gibran Cium Tangan Anies

Redaksi
×

Makna Gibran Cium Tangan Anies

Sebarkan artikel ini

MEGAWATI PDIP boleh berkata, kader dari kepala daerah, anggota dewan hingga presiden adalah petugas partai. Cak Nun kemudian mempertanyakan, bukankah kalau begitu Indonesia bagian dari PDIP, bukan PDIP bagian dari Indonesia.

Ada yang mesti banyak dipelajari, kala politikus bicara tentang partai dan politik. Walikota Solo Gibran justru mempelajarinya di lapangan, dalam tugas kesehariannya. Banyak yang ditunjukkan kepada kita, bagaimana seharusnya seorang pejabat bersikap.

Dasar sikapnya, ialah menunjukkan bagaimana seharusnya pemimpin itu. Bahwa pemimpin mesti menomor duakan dirinya dan menomer satukan rakyat, bukan sebaliknya yang banyak kita saksikan menjadi kesalahan bersikap.

Salahsatu sikap kepemimpinan Gibran ialah saat ia menolak keharusan dari pusat, pembelian mobil dinas baru. Dia tegas berkata, daripada untuk membeli mobil baru lebih baik untuk membangun pasar.

Kemudian sikapnya yang baru-baru ini viral ialah, saat ia menemui Anies Baswedan dan mencium tangan mantan Gubernur DKI tersebut.

Peristiwa itu terjadi saat Anies di Solo di satu hotel, sebelum mereka berdua sarapan pagi lalu menghadiri acara pengajian khaul.

Sikap Gibran nyungkem Anies dalam tradisi Jawa bisa dilihat sebagai peristiwa biasa, seseorang mencium tangan orang yang lebih tua sebagai penghormatan. Tapi ada yang bisa dipelajari dari moment satu menit itu. Ialah, dalam konteks silaturahmi kita adalah manusia biasa.

Anies ke Solo mesti ketuk pintu pada pimpinan daerahnya, mesti kulonuwun pertanda adab budaya. Di sini, Gibran mesti bersikap sebagai manusia biasa yang menerima tamu, bahkan mencium tangan tamunya yang lebih tua dan dihormati. Itu dalam konteks nilai.

Dalam konteks institusi, sekalipun Anda adalah anggota dewan, misalnya, bukankah Anda wakil rakyat. Orang yang dipercaya mewakili rakyat untuk memperjuangkan hak dan martabat rakyat. Bukan sebaliknya, setelah Anda duduk di kursi dewan, justru Anda melupakan tugas yang mesti diemban. Bahkan banyak kasus, wakil rakyat justru mencuri uang rakyat.

Di sini mesti ada negasi, bahwa anggota dewan adalah wakil rakyat, bukan wakil partai. Termasuk dalam contoh sikap yang ditunjukkan Gibran, seakan dia mau berkata: saya petugas rakyat, bukan petugas partai.

Akan tetapi, banyak politikus justru bersikap a-politik menanggapi peristiwa Gibran nyungkem Anies itu. Saya katakan a-politik, sebab yang ada bukan atas dasar pemikiran politik, melainkan karena sifat nyinyir dan iri dengki cemburu benci saja.

Tampaknya, politikus memang mesti banyak belajar untuk menjadi manusia. Dan itu sudah dilakukan Gibran, mewakili kaum muda, untuk memberi contoh para orang tua yang sudah hampir wafat tapi tidak beradab budaya dan sulit menjadi manusia.***