Scroll untuk baca artikel
Kolom

Manusia dan Naluri Berperang (Bagian 2)

Redaksi
×

Manusia dan Naluri Berperang (Bagian 2)

Sebarkan artikel ini

Tetapi berbeda untuk manusia: senjata dan agresi komunal (“antusiasme militan”) meningkatkan kemampuan kita untuk membela diri, tetapi juga untuk menimbulkan kekerasan pada kelompok lain.

Ekspresi agresi manusia yang tak terelakkan adalah perang. Ide ini menunjukkan bahwa perang khusus untuk kemanusiaan, sebagai hasil dari alat canggih dan organisasi sosial kita.

10. Peperangan adalah hal yang dipelajari (dan bisa juga tanpa perlu dipelajari)

Teori ini pertama kali diajukan oleh antropolog Margaret Mead pada awal abad ke-20, hipotesis ini menunjukkan bahwa perang bukanlah konsekuensi yang tak terhindarkan dari sifat kompetitif dan agresif kita.

Sebaliknya, itu adalah penemuan sosial yang dapat dipelajari. Ini benar-benar cocok dengan teori “drive agresif”, yang menunjukkan bahwa manusia mungkin agresif seperti hewan lain – tetapi organisasi sosial kitalah yang menyebabkan perang. Ini juga merupakan sanggahan yang tajam terhadap ide psikologi evolusioner dari hipotesa “prajurit pria”, dan pada gagasan neo-Malthus bahwa perang tidak dapat dihindarkan ketika populasi kita bertumbuh.

Mengingat bahwa perang adalah respon sosial terhadap lingkungan kita dan satu sama lain, masuk akal bahwa solusi untuk perang akan menjadi sosial juga. Kita bisa belajar damai daripada belajar perang – dan kita tidak perlu mengubah genom kita untuk melakukannya.

Di dalam ajaran Islam, kita mengenal dasar hukum berperang berdasarkan ayat-ayat dalam al Quran yang menyebutkan perintah berperang. Perlu kita pahami dengan benar dan sesuai tuntunan ilmu al Quran terhadap ayat-ayat ‘qitaal’ yang ada dalam al Quran.

Di samping itu juga dalam memahami anjuran berperang pada masa awal Dakwah Islam, pokok-pokok penting yang Rasulullah kemukakan, atau jelaskan dalam aturan berperang tidak bisa diabaikan, lalu kemudian mengambil kesimpulan bebas dalam melakukan tindakan dengan hanya berpedoman kepada teks dalil tadi. Sehingga implementasinya malah justru tidak sesuai dengan konteks ayat al Quran dan esensi ajaran Islam itu sendiri.

Syaikh Saltut mengemukakan di dalam kitabnya ‘al Quran wal Qital’, ada sebagian orang yang secara keliru memahami bahwa ayat-ayat al Quran itu mengandung kontradiksi.

Di satu pihak, ada ayat-ayat yang mengandung perintah perang; ada yang bersifat defensive, dan ada yang bersifat umum tanpa dibatasi kepada orang-orang yang memerangi umat Islam. Di lain pihak, ada ayat-ayat yang menganjurkan perdamaian dan memberi maaf.

Dengan pemahaman itu, orang-orang yang membenci Islam berkata bahwa kitab al Quran tidak mungkin merupakan wahyu Allah yang diturunka kepada nabi. Di lain pihak, terdapat pendapat bahwa sebagian ayat-ayat al Quran menasakh ayat-ayat lainnya.