Mengingat bahwa perang adalah respon sosial terhadap lingkungan kita dan satu sama lain, masuk akal bahwa solusi untuk perang akan menjadi sosial juga. Kita bisa belajar damai daripada belajar perang – dan kita tidak perlu mengubah genom kita untuk melakukannya.
Di dalam ajaran Islam, kita mengenal dasar hukum berperang berdasarkan ayat-ayat dalam al Quran yang menyebutkan perintah berperang. Perlu kita pahami dengan benar dan sesuai tuntunan ilmu al Quran terhadap ayat-ayat ‘qitaal’ yang ada dalam al Quran.
Di samping itu juga dalam memahami anjuran berperang pada masa awal Dakwah Islam, pokok-pokok penting yang Rasulullah kemukakan, atau jelaskan dalam aturan berperang tidak bisa diabaikan, lalu kemudian mengambil kesimpulan bebas dalam melakukan tindakan dengan hanya berpedoman kepada teks dalil tadi. Sehingga implementasinya malah justru tidak sesuai dengan konteks ayat al Quran dan esensi ajaran Islam itu sendiri.
Syaikh Saltut mengemukakan di dalam kitabnya ‘al Quran wal Qital’, ada sebagian orang yang secara keliru memahami bahwa ayat-ayat al Quran itu mengandung kontradiksi.
Di satu pihak, ada ayat-ayat yang mengandung perintah perang; ada yang bersifat defensive, dan ada yang bersifat umum tanpa dibatasi kepada orang-orang yang memerangi umat Islam. Di lain pihak, ada ayat-ayat yang menganjurkan perdamaian dan memberi maaf.
Dengan pemahaman itu, orang-orang yang membenci Islam berkata bahwa kitab al Quran tidak mungkin merupakan wahyu Allah yang diturunka kepada nabi. Di lain pihak, terdapat pendapat bahwa sebagian ayat-ayat al Quran menasakh ayat-ayat lainnya.
Dalam hal ini ayat-ayat ‘Qital’ yang diturunkan ketika Islam telah kuat, dan kota Mekah sudah ditaklukkan itu memansukh ayat-ayat pemberian maaf dan perdamaian, dan ayat-ayat yang mengandung pengertian tidak ada pemaksaan dalam agama. Selanjutnya, pemahaman tersebut membawa kepada pendapat-pendapat bahwa Islam adalah agama yang disebarluaskan dengan kekerasan melalui peperangan.
Perang, sekali lagi adalah bagian dari sikap yang berkembang dalam peradaban ketika hasrat manusia untuk berkuasa, mendapatkan penghidupan lebih baik, serta ingin menambah wilayah yang didudukinya, lebih dominan daripada akal yang menempatkan bahwa setiap manusia punyak hak yang sama untuk tinggal dan melangsungkan kehidupannya sesuai dengan apa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
William Wallace menggaungkan pemberontakan untuk perang, karena hak rakyat Skotlandia untuk hidup bebas dibelenggu dan kejahatan tiran menjadikan orang yang terjajah adalah sekelompok manusia yang nilainya lebih rendah daripada sebusur anak panah.
Para agresor Belanda di Indonesia dahulu merasa bahwa negara yang maju dan kuat (Eropa) boleh melakukan apa saja demi mencari keuntungan sumber daya alam di tempat lain dengan cara menjadikannya negara koloni dan jajahannya.
Dan kini, perang bisa jadi sebuah pilihan, dalam “permainan” di atas kertas untuk dibuat tarikan garis kemana arah itu sampai pada titik dalam peta dunia. Dan “nyanyian” apa untuk memulai tabuhan genderang dan terompet perang yang dimainkan oleh dua saudara dalam satu negara.