Marva sang burung cerpen karya Lukni Maulana, saat ini diamanahi sebagai Ketua Lesbumi PWNU Jawa Tengah
PAGI yang cerah waktu menjalani pemangku kehidupan, tetesan air mata menggelantung jernih dan terjatuh ke tanah. Pada gubuk kecil di kejauhan hiruk-pikuk suasana kota Sang Marva bersandar pintu. Wanita muda itu tiba-tiba terkulai dilantai yang beralaskan tanah. Rambutnya tampak kusut dan pakaiannya yang tidak menampak keindahan. Apa lagi jika melihat wajahnya, apa ada seorang lelaki yang mau dengan dirinya.
Suara lirih menggenggam dan menyelusup ke dalam ruang-ruang tembok dari bambu. Tangis merdunya seakan membangunkan seisi kamar yang dihuni dua adiknya yang masih kecil. Keinginan dan hasrat yang besar selalu menyertai dalam mimpi hidupnya. Hampir tiga setengah tahun ia telah ditinggal kedua orang tuanya. Dialah Marva sang burung elang yang siap menerkam mangsanya. Tapi dengan apa dia menerkam, taring dan kukunya sudah tidak tajam lagi.
Ia memegang sepuluh lembar kertas. Di tulis keluh kesahnya, “Semoga adikku kelak menjadi orang-orang yang sukses dan mendapatkan kebahagiaannya.”
Begitulah tulisan awalnya. Pada lembar kedua bertuliskan, “Bapak dan Ibu, aku ingin menjadi anak yang berbakti kepadamu.” Aku kirimkan doa ini untukmu, semoga engkau mendengar sepucuk surat cinta ini.
Lembar demi lembar sepuluh kertas tersebut penuh dengan tinta-tinta hitam. Sehitam paras wajahnya bagai mendung yang mengeluarkan kilat dahsyat siap menyambar gubuk reot itu.
“Tuhan, sungguh engkau sudah tidak lagi memiliki nama keindahan. Karena keindahanmu sudah lenyap pada diriku,” tiba-tiba suara kelur dari mulut Marva. Ia terbangun dan bergegas pergi.
Namun tidak disangka kedua adiknya membuntutinya, Marva tidak tahu. Seketika ia menoleh ke belakang, adiknya berhenti melangkah.
“Kakak mau kemana,” tanya adik perempuan
Marva merangkul kedua adiknya. Kakak akan membangunkan istana megah untuk kalian dan mobil kelas Eropa akan menemani perjalanan kita.
“Emang benar Kak”, pinta adik laki-lakinya yang masih kecil.
Marva hanya tersenyum sekejap dan pelukannya semakin erat. Gubuk reot itu beberapa hari lagi akan digusur oleh pemerintah kota. Sebab Wali Kota berkeinginan mendirikan taman hiburan alam di sekitar kota.
Pelukkan hangat itu bercucurkan air mata, Marva hanya mendapatkan ganti rugi yang tidak sebanding. Karena rumah yang ia tempati tidak bersertifikat. Bahkan penduduk desanyapun harus merelakan desanya, walau banyak lembaga sosial dan pakar hukum membantunya. Namun mereka hanya menarik untung dari orang-orang yang tidak berdaya.
Waktu sudah tidak ingin lagi berhenti. Hendak kemana Marva dan adiknya…..?.
* * *
Kini sang waktu berharap berhenti. Di pinggir jalan kota, tampak restoran megah berdiri dan di sampingnya tumbuh subur hotel berbintang. Tampak seorang wanita berkulit halus dan berpakaian rapi duduk-duduk di restoran. Ia membuka lembar demi lembar sepuluh catatan masa kecilnya. Lembaran kumuh itu sudah berbingkai dan bertatahkan emas murni dan yang disimpan pada kotak berhias mutiara.
Muncul adik laki-lakinya dengan membawa segelas minuman segar. Keduanya ngobrol asyik dan bersendau-gurau. Di kejauhan datang seorang perempuan cantik, menghampiri meja yang penuh makanan lezat. Itulah keluarga sang burung elang. Berkumpul memadu kasih keluarga.
“Kak, ayo kita jalan-jalan,” pinta adik perempuan.
Marva teringat lembaran yang barusan ia baca, ia memiliki janji kepada adiknya. Marva menekan nomor telepon. Lalu muncul sang sopir yang siap mengantar mereka berlibur.
Di tinggalnya restoran dan hotel berbintang yang kini telah menjadi miliknya. Ratusan karyawan sangat mengagumi sosok Marva yang tidak pantang menyerah dalam menghadapi gejolak hidup ini. Bahkan karyawan swasta mendapatkan tunjangan yang tidak kalah dengan pegawai pemerintahan.