Laporan itu memasukan seluruh nilai alokasi dan realisasi beberapa program yang telah ada sebelum pandemi. Bukan hanya tambahan nilai alokasinya saja. Yaitu: Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako atau Bantuan Pangan Non Tunai, dan Kartu Prakerja. Jumlah nilai realisasi ketiganya sebesar Rp104 triliun atau hampir separuh dari total realisasi perlinsos untuk pandemi.
Pemaparan Menkeu Sri Mulyani tanggal 17 juli lalu terkait anggaran perlinsos melanjutkan cara penyajian LKPP tahun 2020 tersebut. Dalam alokasi yang disebut naik menjadi Rp187,84 triliun, telah dimasukan seluruh nilai alokasi Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, dan kartu pra kerja.
Narasi kebijakan demikian terkesan membesarkan nilai alokasi untuk penanganan covid dalam hal perlinsos. Mereka yang sudah biasa memperoleh manfaat program tentu tidak merasa bahwa itu terkait dampak pandemi. Selain itu, konsep perlinsos menjadi tampak makin rumit. Kurang jelas arah langsungnya dalam mengatasi dampak pandemi atas kehidupan ekonomi rakyat kebanyakan.
Penulis mengapresiasi langkah pemerintah yang telah menambah alokasi perlinsos, baik pada Perpres No.72/2020 maupun APBN tahun 2021. Akan tetapi, narasi kebijakan yang lebih fair merupakan bagian dari komunikasi publik yang baik. Penjelasan kebijakan yang terlampau bersifat “utak-atik” dapat menjadi bumerang bagi kredibilitas pemerintah sendiri. Tidak bisa dihindari jika rakyat tidak merasakan respon kebijakan perlinsos sebaik yang dijelaskan oleh pemerintah. [rif]