AGAR anak gemar membaca, tentu saja harus tersedia bahan bacaan yang sesuai. Kesesuaian itu antara lain terkait dengan bahasa yang mudah difahami, bersifat menghibur, dan bermuatan yang mendidik. Hal lain yang perlu dicermati orang tua, bacaan tidak mengandung unsur kekerasan.
Fisik bacaan bisa berupa majalah ataupun buku. Dari aspek isi atau konten bisa mencakup: cerita fiksi, cerita perjalanan, biografi, ataupun tulisan yang bersifat pengetahuan. Bahkan, pengalaman saya, beberapa buku pelajaran tingkat Sekolah Dasar mengandung bahan bacaan yang baik.
Menyediakan bacaan tidak berarti harus dengan cara membeli. Orang tua bisa memanfaatkan banyak fasilitas, seperti perpustakaan sekolah, perpustakaan masjid, perpustakaan daerah. Bahkan, di beberapa daerah telah tumbuh subur komunitas yang menyediakan bacaan bagi anak-anak.
Keluarga kami memang cukup banyak membeli buku dan bahan bacaan, karena abahnya suka berburu buku murah. Kebetulan kami tinggal di Yogyakarta yang pada tahun 1990-an merupakan kota penuh buku murah dan buku bekas. Pameran buku pun nyaris berlangsung tiap bulan.
Mencari buku bekas dan buku murah jelas menguntungkan secara pengeluaran keluarga. Apalagi, keempat anak kami kemudian sangat gemar membaca. Tak terbayangkan jika mereka hanya terbiasa dengan buku baru atau yang fisiknya sangat bagus.
Kegiatan berburu buku juga memaksa abah dan saya untuk membaca sebagian isinya terlebih dahulu. Proses seleksi bahan bacaan dapat dilakukan lebih awal, sebelum membelinya. Dua aspek yang selalu menjadi pertimbangan kami dalam memilih bacaan, yaitu sesuai dengan usia anak dan jenis yang cukup bervariasi.
Bacaan sesuai usia anak
Anak-anak kami yang berusia sebelum 3 tahun, biasanya diberi bacaan dengan kertas yang lebih tebal. Terutama agar tidak mudah sobek. Meski masih dibacakan, mereka akan suka memegang atau seolah membaca sendiri.
Kami mengutamakan bacaan yang disertai dengan berbagai gambar yang banyak dan berwarna. Biasanya, hanya ada sedikit tulisannya, dengan huruf yang cukup besar. Pengalaman saya dengan buku seperti itu, anak-anak banyak bertanya tentang gambarnya. Kita pun bisa memberi banyak informasi yang membuat anak berkesempatan luas mengembangkan imajinasinya. Tidak sebatas tulisan yang tertera.
Suatu ketika saya membacakan buku cerita tentang Siput dan Kura-kura yang berlomba lari. Bukunya memang diperuntukan anak kecil, dengan format memanjang ke samping. Setiap halaman berisi satu gambar besar dan satu kalimat atau dua kalimat pendek.
Pada halaman pertama terdapat gambar kura-kura dan siput kelihatan sedang berbicara. Bertuliskan, “Kura-kura yang sombong menantang siput lomba lari.” Gambar pada halaman kedua berupa Kura-kura dan siput sedang bergerak. Bertuliskan, “Kura-kura dan siput mulai berlomba.” Pada halaman ketiga tampak gambar kura-kura di depan siput. Bertulikan, “Kura-kura menoleh. Siput ada di belakangnya.” Dan halaman-halaman selanjutnya.
Sejak awal melihat gambar, anak-anak bertanya tentang gambar kura-kura dan siput itu. Mana kaki siputnya? Jalannya siput bagaimana? Apa itu yang di kepala siput? Apa kura-kura larinya cepat? Dan lain sebagainya. Setelah dirasa cukup berbincang, barulah saya bacakan ceritanya.
Karena bacaannya sedikit, memang terasa kurang menjelaskan buat mereka. Setiap halaman selalu ada pertanyaan. “Kenapa siput mau lomba lari?” “Di mana lombanya?” “Kenapa kura-kura menoleh terus? Larinya tidak melihat ke depan?” Akan tetapi dampak positifnya, membuka ruang bagi anak untuk merangkai kalimat-kalimat sendiri agar menjadi cerita yang lebih lengkap.