SELAMA ini yang sangat populer di dunia istilah kudeta militer. Tradisi ini lebih banyak di negara-negara yang tidak stabil secara politik seperti di negara-negara Asia, Amerika Latin dan Afrika.
Sepekan terakhir ini nyaring disampaikan istilah kudeta konstitusi. Bila kudeta militer biasanya yang dijatuhkan adalah presiden atau perdana menteri tetapi dalam kudeta konstitusi justru pelakunya rezim yang tengah berkuasa dan yang diacak-acak adalah konstitusi atau undang-undang dasar negara.
Menurut Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan kudeta konstitusi sebagai upaya mengubah undang-undang dasar untuk menunda pemilu, alias memperpanjang masa jabatan seluruh pejabat negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, termasuk juga untuk dirinya sendiri seperti Ketua MPR dan Ketua DPD.
Istilah kudeta konstitusi menguat setelah para elite di negara ini mulai dari sejumlah menteri dan ketua umum parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) awalnya mewacanakan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi. Selain karena Jokowi dianggap berprestasi juga ekonomi baru tumbuh setelah diterpa pandemi Covid-19.
Belakangan, elite lembaga tinggi negara pun yang seharusnya netral dan jadi negarawan ikut-ikutan nimbrung masuk dalam komplotan pengusung hasutan kudeta konstitusi.
Pernyataan Ketu DPD LaNyalla Mattalitti dan juga Ketua MPR Bambang Soesatyo yang juga mengamini menunda Pemilu 2024 memancing reaksi dari publik dan membuat kegaduhan baru. Karena tidak ada faktor pendukung penundaan seperti kerusuhan atau bencana alam yang sampai tingkat extra ordinary.
Bahkan dalam sebuah diskusi ekonom Awalil Rizky justru membeberkan data, dalam setiap pemilu justru arus modal asing yang masuk cenderung naik. Nah, bukankah pemilu menguntungkan? Kenap harus takut?
Kalau alasannya hanya karena suhu politik cukup panas. Ukurannya seperti apa dan pakai parameter apa?Jangan-jangan, kata seorang pengamat, termometer yang digunakan Bambang Soesatyo sudah rusak. Karena sejak dari dulu, menjelang pemilu memang suhu politik selalu panas eskalasinya.
Sejumlah pengamat, analis, akademisi dan aktivis sudah mengingatkan sejak jauh-jauh hari wacana kudeta konstitusi justru bukan membuat negara stabil tetapi justru sebaliknya bisa menjadi biang instabilitas, kerusuhan bahkan kehancuran.
Sejumlah orang juga berpendapat, narasi yang dibangun Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR tidak hanya menyesatkan publik tetapi juga bisa membahayakan Presiden Jokowi. Malah ada yang menyandingkan Jokowi kemungkinan nasibnya seperti Soeharto bila perpanjangan masa jabatan dilanjutkan.
Anies Tak Terbendung?
Publik pun tak bisa disalahkan bila memiliki penilaian, anggapan dan dugaan sendiri menyikapi diembuskannya wacana perpanjangan masa jabatan presiden oleh para elite politik dan elite lembaga negara.
Publik memiliki dugaan tunggal bahwa Presiden Jokowi belum memiliki calon kuat (Little Jokowi) yang bakal menjamin kebijakannya terutama Ibu Kota Negara (IKN) yang bernama Nusantara dan Kereta Cepat Jakarta – Bandung, bakal dilanjutkan. Sementara calon presiden yang diusung Partai Nasdem, Anies Rasyid Baswedan, popularitas dan elektabilitasnya semakin tak terbendung bahkan di Papua sekalipun.
Padahal Anies selalu menekankan bahwa dalam menjalankan kepemimpinannya ia selalu mengusung konsep keberlanjutan dan perubahan. Dua konsep itu Anies lakukan secar paripurna saat menjabat Gubernur DKI Jakarta. Jaminan Anies tersebut sepertinya belum bisa meluluhkan ambisi memperpanjang jabatan.